Mempersoalkan Politik
Luar Negeri Presiden SBY
Saturday, 21 August 2010
Pidato kenegaraan
menyambut HUT
Proklamasi Kemerdekaan
RI tahun ini
kembali digunakan
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk
menegaskan visi politik
luar negerinya, yaitu
"sejuta kawan tanpa
musuh"( a million friends,
zero enemy).
Visi itu sebagai wujud
internasionalisme yang
mengedepankan kerja
sama
dan kemitraan agar
negeri ini semakin
aman,makmur, dan kuat.
Pemikiran
dasar yang telah
disampaikan dalam
beberapa kesempatan
itu kemudian
diterjemahkan Menteri
Luar Negeri Marty
Natalegawa dalam
doktrin dynamic
equilibrium
(keseimbangan dinamis).
Doktrin itu meyakini
bahwa interaksi berbagai
negara secara damai
dalam
kerangka kerja sama
multilateral yang
berkesetaraan dan saling
menguntungkan adalah
pengganti kestabilan
sistem regional dan
global
yang berdasarkan
hadirnya kekuatan
dominan, pembangunan
kekuatan
militer, serta perspektif
perimbangan kekuatan
(balance of power).
Kedua
pemikiran ini mencakup
dimensi yang luas,
termasuk dimensi militer
dan
pertahanan.
Pertanyaannya, apakah
kedua pemikiran di atas
dapat diterima oleh
masyarakat yang
prihatin dengan berbagai
tindak pelecehan atas
kedaulatan nasional oleh
negaranegara tetangga
akibat lemahnya
kekuatan
deferensi militer kita
seperti penangkapan
aparat patroli perikanan
Indonesia oleh Malaysia
di wilayah Indonesia?
Lalu kalau negara kita
tak
punya musuh, rakyat dan
aparat harus memberi
status apa pada jaringan
teroris lintas negara
yang harus diberantas
itu?
Membangun persepsi
publik bahwa tak ada
musuh yang sedang
mengancam
negara kita dapat
membawa bangsa ini
pada cara yang keliru
dalam
memandang dunia. Juga
bisa membahayakan
karena dapat dianggap
sinyal
untuk menurunkan
kewaspadaan kita
sebagai bangsa di
berbagai bidang.
Vladimir Putin,Presiden
Rusia periode 2000--2008
dan tokoh yang dipilih
majalah Time sebagai
Person of The Year 2007,
mengatakan, ilusi bahwa
Rusia tidak memiliki
musuh adalah sumber
dari seluruh kemunduran
negara
itu semenjak pecahnya
Uni Soviet hingga era
Yeltsin.
Rusia sempat mengalami
periode di mana
ekonominya berantakan
semenjak
era reformasi ekonomi
dukungan IMF pada awal
1990-an.Kekayaan negara
utamanya di bidang
sumber daya alam
dirampok sekelompok
orang yang
disebut "oligarki" yang
dapat menjadi kaya
secara cepat di samping
menguntungkan kapitalis
di negara barat. Politik
domestiknya juga
dipengaruhi asing.
Lemahnya Rusia secara
ekonomi juga membuat
percaturan internasional
didominasi unipolarisme
Amerika Serikat yang
sendirian menjadi
adidaya
politik dan militer.
Sementara di sisi
lain,Presiden AS Barack
Obama
dalam pidatonya saat
menerima penghargaan
Nobel Perdamaian 2009
mengatakan bahwa
perdamaian sering kali
harus hadir bersama
dengan
kekuatan fisik.Baik Putin
maupun Obama
menunjukkan bahwa
perspektif
politik luar negeri SBY
dan Menlunya bukanlah
pemikiran arus utama
elite
kekuatan-kekuatan
besar dunia.
Akar visi Presiden SBY,
yaitu perdamaian
utopian yang berasumsi
bahwa
perdamaian dapat
dibangun tanpa
kekuatan fisik, juga
tampak dari bagian
doktrin Natalegawa yang
menyebutkan proximity
talks sebagai situasi
kondusif menuju
perdamaian.
Sayangnya,tak ada
contoh konkret negara
yang
dihargai di panggung
dunia hanya dengan
mengandalkan prinsip-
prinsip
normatif tersebut.
Bahkan Jepang, sebuah
negeri yang berhasil
meraih
citra sebagai negara
antiperang, selalu
memiliki anggaran
militer raksasa.
Jepang yang sebelum era
Koizumi hanya dimintai
kontribusi finansial
dalam mendukung aneka
kebijakan politik dan
militer global AS, seiring
dengan kemunduran
ekonomi AS, kini
didorong untuk kembali
membangun
militernya. Jepang
didukung untuk
mengubah konstitusi
pacifist-nya yang
menyatakan bahwa
Jepang menolak
perang,penggunaan
ancaman atau
kekerasan, serta
menolak pemilikan
sebuah angkatan
bersenjata.
Dalam persiapan ke arah
itu, Jepang sudah
dilibatkan mendukung
operasi
militer AS di Irak dan
menaikkan status Japan
Defence Agency(JDA)
menjadi Kementerian
Pertahanan (Syamsul
Hadi, Kompas 21 Maret
2007).
Konstitusi
mengamanatkan agar
bangsa kita ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia yang berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Kita memang harus
berjuang keras untuk
menghindari
perang.Namun, bersiap
perang atau bahkan
perang itu sendiri adalah
juga bagian dari upaya
mencapai perdamaian.
Tragedi kemanusiaan di
Bosnia tahun 1994--1995
misalnya baru berhenti
setelah AS bersama
NATO melancarkan
serangan
militer masif ke wilayah
Balkan tersebut. Adalah
naif untuk berpikir
bahwa memperkuat
militer adalah selalu
bermakna ancaman bagi
perdamaian.
Penulis menghargai
Presiden SBY yang
berikhtiar
mengembangkan politik
luar negeri yang orisinal
di era globalisasi ini.Dulu
Presiden Soekarno
juga merumuskan
Gerakan Non-Blok yang
menjadi alternatif arus
utama
pemikiran politik dunia
era Perang
Dingin.Bedanya, visi Bung
Karno
memiliki daya tarik kuat.
Dengan bersikap tidak
memihak salah satu blok,
Indonesia berhasil
memperjuangkan
kepentingan nasionalnya
seperti
pengakuan
kemerdekaan,
pengembalian Irian
Barat,dan tumbuhnya TNI
sebagai kekuatan militer
terkuat di belahan bumi
selatan.
Sementara visi Presiden
SBY dan doktrin
Natalegawa disodorkan
kepada
dunia di tengah situasi
negara yang tak
berwibawa. Baik karena
prestasi
ekonominya biasa saja
dibandingkan China dan
India, kemiskinan tak
berkurang, utang luar
negeri terus bertambah
maupun sikap lembek
dalam
menyikapi arogansi
negara sekecil Singapura
atau Timor Leste.Kedua
pemikiran itu
kemungkinan besar
dipandang negara lain
sebagai retorika
dan dibahas sebagai
basa-basi diplomatik
belaka.
Negara mana yang mau
mengikuti visi negara
yang tidak sukses dengan
dirinya? Di samping itu,
pada era di mana
ekonomi menjadi
kepentingan
pragmatis tiap negara
yang diperjuangkan
secara transaksional,
tidaklah
mudah menghimpun
teman. Karena meskipun
Indonesia memiliki power
source
seperti sejarah
perjuangan dan
kepemimpinan di dunia
ketiga, tetapi
tanpa keberhasilan
ekonomi sekelas China,
India, dan Brasil,
Indonesia
tak punya power
currency yang efektif.
Bagi pemerintah,
membangun persepsi
bahwa negara kita
sebagai tidak
memiliki musuh
setidaknya dapat
meredam desakan
berbagai pihak agar
segera dilakukan
modernisasi besar-
besaran terhadap
alutsista TNI.
Bersama alasan
minimnya anggaran,
persepsi tersebut dapat
menjadi
pembenar sikap
pemerintah untuk mem-
perpanjang "masa cuek"
terhadap
kondisi alutsista TNI yang
tertinggal secara
kualitas maupun
kuantitas
dari negara-negara lain
di kawasan dan tak
kunjung mampu
memenuhi
kebutuhan objektifnya.
Benar bahwa kita
sekarang hidup dengan
lingkungan strategis
baru dalam
dunia yang di
permukaannya diwarnai
ancamanancaman
asimetris hubungan
internasional yang lebih
rawan dan rumit seperti
upaya akuisisi
teknologi nuklir sebagai
senjata pemusnah
massal, perubahan iklim,
terorisme, epidemi
penyakit, kemiskinan,
perdagangan manusia,
narkotika,
dan lainnya.Percaturan
globalisasi juga semakin
kompleks dengan
berbagai
kepentingan tak hanya
menyangkut negara-
bangsa, tetapi juga
institusi-
institusi ekonomi-
perdagangan yang dapat
bergerak bebas.
Namun, apakah
interdependensi yang
semakin luas dan
kebutuhan mekanisme
multilateralisme yang
meningkat telah
menghilangkan ancaman
konvensional
secara permanen?
Sebagai negara yang
mengalami trauma
penjajahan dan
kerap dikerjai oleh
berbagai bentuk
kekuatan asing hingga
hari ini,
Indonesia tak perlu
menjadi pelopor
penanggalan perspektif
perimbangan
kekuatan dalam politik
luar negerinya di bidang
pertahanan.
Sebaliknya, peluang
menciptakan kemitraan
strategis dengan
kekuatan-
kekuatan besar perlu
diarahkan untuk juga
memperkuat TNI. Visi
Presiden
SBY bersama Doktrin
Natalegawa di atas yang
dinyatakan pemerintah
sebagai modernisasi
kebijakan dasar politik
luar negeri yang bebas
aktif
sulit diharapkan bisa
menjadi pegangan dalam
menyikapi insideninsiden
global secara terukur.
Juga tak mungkin dapat
menjadikan Indonesia
sebagai aktor diplomasi
global yang powerfull
dalam mendorong
penyelesaian aneka
konflik dan
krisis serta mewujudkan
tata dunia multipolar.
Hal mana sudah tampak
dari ditolaknya tawaran
Indonesia sebagai
penengah konflik
Israel-Palestina.(*)
Guspiabri Sumowigeno
Direktur Kajian Politik
Center for
Indonesia National Policy
Studies
http://www.seputar-
indonesia.com/
edisicetak/content/
view/346055/