Hukum Itu Indah
Tuesday, 10 August 2010
Pada edisi Senin 2
Agustus 2010 harian ini
menurunkan tajuk
berjudul
"Kemerdekaan Hukum
Kita".Betapa jelas
dipaparkan bahwa kini
hukum
dimainkan oleh
kekuasaan sesuai
seleranya.
Penegakan hukum selalu
terkontaminasi ego,
kepentingan
kelompok,dan
kepentingan yang aneh-
aneh. Padahal kalau
hukum dijalankan
berdasarkan
hati nurani, rakyat kecil,
orang kaya, orang yang
baru lengser dari
jabatan yang benar-
benar tidak bersalah
akan tetap bisa
mendapat
keadilan. Dan keadilan
benarbenar milik semua.
Terinspirasi oleh paparan
di atas, ingin
disampaikan pula bahwa
sebenarnya potret buram
hukum kita
selama ini terjadi karena
ulah (sebagian) manusia
Indonesia. Dalam
keotentikannya,hukum
itu indah. Muncul
pertanyaan, mengapa
hukum yang
indah berubah menjadi
buram, dan bagaimana
mengembalikan
keindahannya?
Nafsu Duniawi
Pada diri setiap manusia
terdapat jiwa.Di dalam
jiwa itu ada unsur
nafsu.Fungsinya sebagai
penggerak dan
pendorong kemajuan.
Tanpa
nafsu,manusia akan
loyo,pasif,dan statis.
Nafsu penting untuk
mewujudkan
progresivitas kehidupan.
Akan tetapi nafsu
memiliki potensi
merusak.Apabila tidak
dikendalikan, nafsu akan
berjalan cepat secepat
kilat,menerobos semua
pembatas. Bagaikan
kuda binal lepas dari
kandangnya.Kewajiban
setiap manusia adalah
mengendalikan nafsu,
agar
berjalan lurus, normal,
dan proporsional.
Hukum kita menjadi
rusak karena manusia
yang ada di belakang
hukum
mengumbar nafsu dan
menjadikan hukum
sebagai kuda
(tunggangan) untuk
mendapatkan
kemegahan,harta
benda,kekuasaan
duniawi.Kekayaan dan
kekuasaan dijadikan
sarana sekaligus tujuan
dalam berhukum. Di
sinilah,
mereka yang kaya
(konglomerat) dan
pemegang kekuasaan
(politisi dan
penegak hukum)
merekayasa hukum
sedemikian rupa,
sehingga wajah hukum
berubah total dari indah,
cantik, dan elegan;
menjadi
buram,kelam,dan
kejam. Benar adanya
bahwa rakyat kecil selalu
menjadi korban dari
kekejaman dan
keganasan hukum.
Hal demikian karena
rakyat kecil tidak pernah
siap atau dipersiapkan
menghadapi rekayasa
hukum. Mereka secara
formal diakui sebagai
subjek
hukum,tapi secara
substantif selalu
ditempatkan sebagai
objek hukum.
Dalam peradilan, mereka
(selalu) dikalahkan
walaupun belum tentu
salah.
Dalam kebijakan,
mereka diinjak dan
diperas untuk
memuluskan kenaikan
tarif dasar listrik,
kenaikan bahan bakar
minyak,kenaikan pajak
dan
retribusi, dan
sejenisnya.Dalam hukum
sumber daya alam,
rakyat kecil
dilarang melakukan
penambangan liar,
sementara investor
diberi
keleluasaan menguras
emas, batu bara, pasir
besi, mengelola air,
perkebunan, hutan, dan
sejenisnya.
Bagi rakyat kecil,hukum
tampil sebagai alat
penindas kehidupannya.
Pebisnis dan politisi serta
penegak hukum
hitam,berkolaborasi
"menjajah"
rakyat kecil dalam
segala aspek
kehidupan.Rakyat kecil
kini sulit
mendapatkan hukum
yang merdeka, apalagi
memihak kepada
nasibnya. Produk
hukum yang berkarakter
responsif dan fasilitatif
bagi rakyat kecil,
ibarat pepatah,"jauh
panggang dari api."
Hati Nurani
Ada sisi lain dari jiwa
manusia yang perlu
secara terus-menerus
dilekatkan dengan
hukum, yaitu hati nurani.
Dalam keasliannya, hati
manusia jernih. Bagaikan
air, sinar matahari akan
menembus
kejernihannya.Manusia
yang kejernihan hatinya
terjaga akan bersih pula
sikap dan perilaku
hukumnya. Atas dasar
nur Ilahi yang menerangi,
menjadi sangat mudah
membedakan antara
yang salah dan benar.
Atas
bimbingan Ilahi pula
kemudian manusia selalu
berjalan pada
kebenaran.
Tidak pernah terpikir
(apalagi berbuat) untuk
korupsi, kolusi, maupun
nepotisme (KKN)
Psikologi hukum
humanisme mengajarkan
agar manusia dalam
berhukum menggunakan
seluruh potensi jiwa dan
raga secara utuh dan
terpadu.Dalam bahasa
akademis, hendaknya
manusia berhukum
secara
holistis. Bermula dari
spiritual quotion (SQ),
didorong dengan
intellectual quotion (IQ)
dan diperlengkapi
dengan emosional
quotion
(EQ), maka semua sikap
dan perbuatan lahiriah
dalam membuat,
menjalankan
dan menegakkan hukum
akan menghasilkan
keadilan substantif yang
dapat
diterima semua pihak,
bahkan dapat
dipertanggungjawabkan
dunia-akhirat.
Filsafat hukum
organisme mengajarkan
agar hubungan hukum di
antara
sesama manusia,(bahkan
terhadap semua entitas)
dilakukan atas dasar
prinsip pansubjektivitas.
Artinya, semua pihak
dihormati sebagai subjek
dan tabu untuk
mengobjekkan pihak
lain.Walaupun seseorang
telah
dinyatakan bersalah dan
dimasukkan ke hotel
prodeo, misalnya, dia
tetap
subjek hukum, dan tidak
boleh diobjekkan dengan
diperas melalui
keluarganya. Pluralisme
hukum mengajarkan
agar kemajemukan
hukum
dijadikan sebagai modal
membangun dialog
hukum sehingga
terwujud
keutuhan hukum yang
lebih besar, lebih adil,
dan lebih berkualitas.
Betapa indah ketika
hukum adat yang
bersifat lokal-
kedaerahan diterima
sebagai bagian dari
hukum agraria positif,
sehingga kesaksian
kepala
adat atau secarik girik
diakui sebagai alat bukti
kepemilikan tanah.
Betapa indah pula ketika
beraneka ragam adat
perkawinan diterima
sebagai
kekayaan budaya hukum
yang dibingkai dalam
Undang-Undang
Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
Budaya hukum
mengajarkan bahwa
hukum bekerja dan
tertanam dalam sebuah
matriks sosialkultural.
Ketika hukum melakukan
pengaturan terhadap
perilaku manusia,maka
hukum tidak pernah
untuk
dirinya sendiri,
melainkan membawa
manusia ke arah
keteraturan,
ketertiban dan
berperadaban.
Bahkanketikamanusiadih
adapkan pada
konflik,hukum tampil
sebagai sarana
untuk penyelesaian
sehingga konflik dapat
diakhiri dengan damai,
adil,
dan kehidupan kembali
berproses normal.
Integrasi masyarakat dan
bangsa
menjadi tetap
terjaga.Dalam
kedudukannya sebagai
institusi
pengintegrasian proses
kehidupan, hukum
terbuka menerima
asupan-asupan
dari segala aspek
kehidupan, baik bidang
ekonomi, sosial, politik,
budaya, psikologi dan
sebagainya. Jadilah
hukum sebagai "pelangi"
kehidupan.Alangkah
indahnya! Moralitas
hukum mengajarkan
agar setiap
manusia berlomba-lomba
dalam kebaikan dan
keteladanan dalam
ketaatan
pada hukum. Segalanya
dimulai dari hati nurani.
Hukum tidak boleh
mengandung perintah
dan kewajiban yang
melebihi
kekuatan manusia untuk
menunaikannya.Dilarang
merekayasa hukum
untuk
kepentingan sendiri atau
kelompok. Moralitas
hukum demikian
menjadikan
hukum berkesesuaian
dengan harapan
masyarakat.Jelaslah,
ketika hukum
diterima dan
diperlakukan secara utuh
maka akan muncul
estetika hukum.
Bukankah hukum
demikian itu indah?
Pencitraan Hukum
Kita semua
berkepentingan agar
seluruh aspek hukum di
negara ini kembali
menjadi indah.
Undangundang dasar
kita dari awal telah
meletakkan
dasar-dasar pencitraan
diri (self defining) untuk
sistem hukum Indonesia
yang indah itu.
Pencitraan diri tersebut
dilakukan dengan
memasukkan
nilai-nilai komunalistik-
religius dan tradisi
musyawarah. Kita sadar
bahwa keindahan hukum
yang berwatak
komunalistis- religius kini
telah
rusak.
Kita pun sadar bahwa
tradisi musyawarah telah
bergeser menjadi
persaingan bebas. Dalam
pemilihan kepala
daerah,misalnya,semua
individu
baik yang berwatak
malaikat maupun yang
berwatak setan, diberi
kesempatan sama untuk
memilih dan dipilih
sebagai kepala daerah.
Kelihatannya
egaliterdemokratis,
tetapi tidak etis. Sejak
determinasi
bangsa ini lemah ketika
berhadapan dengan
bangsa asing, maka
pencitraan
hukum gagal
dipertahankan, dan
seiring dengan masuknya
paham
individual-liberalisme
maka watak hukum kita
pun menjadi egois,kejam,
bahkan ganas. Sistem
hukum kita tidak lagi
indah melainkan
profan,kotor,dan banal.
Untuk mengembalikan
keindahan hukum,ada
baiknya kita belajar dari
pengalaman negara lain,
yakni Jepang. Sejak kalah
oleh Sekutu pada
Perang Dunia II, Jepang
dipaksa dunia Barat
untuk membuka diri dan
menerima sistem hukum
Barat yang berwatak
individual- liberalistis.
Pemaksaan hukum asing
itu disikapi secara
kreatif dengan
menciptakan
struktur hukum yang
berwajah ganda.
Struktur luar (wajah
depan) adalah
hukum Barat, struktur
dalamnya (perilaku
internal sebagai bangsa)
tradisi kekeluargaan.
Dengan struktur hukum
demikian, ketika
berhadapan
dengan bangsa asing
digunakanlah kontrak-
kontrak tertulis serta
perhitungan rasional,
impersonal sebagaimana
layaknya hukum modern.
Akan tetapi pelaksanaan
kontrak-kontrak
tersebut selalu
dibelokkan ke
dalam tradisi
kekeluargaan,
sementara dokumen
kontrak disimpan di
dalam
laci. Dengan kata lain,
Jepang tetap
berkomitmen menjaga
tradisi dan
nilai-nilai yang mengakar
pada budaya bangsa
sendiri, yaitu hukum
kekeluargaan. Itulah
cerdiknya Jepang,dan
dengan hukum
kekeluargaan itu
pula Jepang disegani
bangsa-bangsa lain.
Sebagaimana Jepang,
saya yakin, bangsa ini
bisa mengembalikan
keindahan
sistem hukum yang
berwatak komunalistik-
religius dan tradisi
musyawarah.Kuncinya:
kendalikan nafsu,
maksimalkan
penggunaan akal dan
hati nurani, serta cintai
negeri sendiri.Wallahu
a'lam.(*)
Prof Dr Sudjito, SH MSi
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum Fakultas
Hukum UGM