x

Sabtu, 14 Agustus 2010

Memberantas Hukum
Koruptif
Saturday, 14
August 2010
KETIKA seorang
wanita,Fatimah
al-Makhzumiyah, putri
dari kepala suku
Bani Makhzumiyah,
mencuri, sebagian
sahabat menginginkan
Rasulullah
memperlunak hukuman
baginya, bahkan
sebelumnya mendapat
amnesti dari
Usamah bin Zaid.
Tetapi Rasulullah dengan
suara lantang dan marah
mengatakan: ”Wahai
sekalian manusia,
sesungguhnya
kehancuran umat dahulu
disebabkan oleh
perlakuan
diskriminatif dalam
bidang hukum. Jika yang
mencuri itu orang-orang
lemah dan rakyat kecil,
maka mereka langsung
menegakkannya.Tetapi
jika
yang mencuri itu
kalangan elite, mereka
membiarkannya. Demi
Allah,
andaikan Fatimah anak
Muhammad (anakku
sendiri) melakukan
pencurian,
maka akan kupotong
langsung tangannya
(Hadis Riwayat Imam
Bukhari).
Dalam bulan suci
Ramadan, bulan pernah
berkah ini, izinkan saya
memulai
tulisan kolom Novum
dengan mengutip hadis
sahih di atas.
Hadis
tersebut terang-
benderang menegaskan
titah Baginda Rasulullah
bahwa
penegakan hukum yang
diskriminatif akan
menyebabkan
kehancuran
umat.Menurut
Rasulullah,hukum yang
diskriminatif
adalah,hukum yang
tajam kepada orang-
orang kecil (the have
not),tetapi tumpul
kepada
kalangan elite (the have)
. Sayangnya,potret
hukum yang diskriminatif
itulah yang masih saja
kita temui dalam
penegakan hukum di
Tanah
Air.Lihatlah beberapa
kasus terakhir yang
terekspos media
massa.Tragedi
yang dijalani nenek
Minah, misalnya. Sang
nenek divonis bersalah
karena
mencuri tiga biji kakao
untuk menyambung
hidupnya. Demikian pula
yang
dialami nona Maniseh.
Untuk menghidupi
keluarganya, Maniseh
ditahan karena
mengambil beberapa
kilogram kapuk randu.
Serupa tapi tak
sama, para janda sepuh
pejuang harus berjibaku
karena hampir terusir
dari rumah tinggalnya.
Beruntung dalam
pengadilan tingkat
pertama para
janda divonis bebas oleh
majelis hakim. Dalam
kasus yang lain, bau
anyir praktik mafia
hukum sangat kuat
tercium pada kasus
keluarga
Kadana di Indramayu,
ataupun keluarga Indra
Azwan dari Malang.
Kadana,
yang menghadapi kasus
pembunuhan, terpaksa
harus menjual tanah
pekarangan yang luasnya
tak seberapa.
Uang yang terkumpul,
ditambah utang dari kiri-
kanan keluarga Kadana
harus disediakan untuk
upeti kepada seorang
oknum polisi.Tragedi tak
berhenti begitu saja.
Istri Kadana dan enam
orang anaknya terpaksa
harus tidur di bekas
kandang kambing,
berdesakan dan
berimpitan karena
ukuran kandang
kambing itu hanya 2,5 x
1,5 meter.Tentulah tidak
ada kenyamanan untuk
tinggal dan tidur di
bekas kandang kambing
yang supermini tersebut.
Lebih sulit lagi
membayangkan, ada
upeti “hanya” Rp300.000
yang tetap
ditagih oknum polisi,dan
untuk memberikannya
Casnawi—kakak Kadana

harus menggenjot becak
sejauh 10 kilometer,di
tengah malam hingga
dini
hari yang dingin.
Indra Azwan dan
keluarganya mengalami
nasib
tak kalah tragis.
Keluarga sederhana yang
kini menyambung hidup
dengan
menjual rokok dan kopi
tersebut mengalami
pahit-getirnya berjuang
mengais keadilan.
Kemalangan seakan
melekat-erat pada
keluarga dari
kota Malang ini.Tujuh
belas setengah tahun
lalu, tepatnya pada 8
Februari 1993, pada hari
yang nahas, ananda Rifki
Andika harus meregang
nyawa karena menjadi
korban tabrak lari. Sang
ayah dan keluarga terus
berjuang agar keadilan
hadir, tapi baru tiga
belas setengah tahun
kemudian berkas
perkara dilimpahkan ke
pengadilan.
Sang oknum
penabrak yang juga
seorang polisi,meskipun
mengakui
perbuatannya,akhirnya
divonis bebas karena
perkaranya telah
melewati
batas waktu yang
ditentukan. Untuk kasus
tabrak lari demikian,
batas
waktu kedaluwarsanya
adalah dua belas
tahun.Perkara ini adalah
contoh
nyata dari adagium:
keadilan yang tertunda
melahirkan kezaliman
(justice delayed, justice
denied). Untuk
mengangkat tragedi
kasusnya,
Indra Azwan telah
melakukan berbagai
aksi.Terakhir dia nekat
berjalan
kaki dari Malang menuju
Istana Negara.
Berangkat tanggal 9 Juli
2010
setelah salat Jumat,dua
puluh dua hari kemudian,
pada tanggal 30 Juli
2010,Indra Azwan
akhirnya tiba di depan
Istana Negara.
Tujuannya
tunggal: ingin bertemu
Presiden SBY dan
menyampaikan
keprihatinan
betapa mereguk
keadilan bagi
masyarakat kecil
sangatlah sulit dan
bagaikan mimpi.Ketika
akhirnya bertemu
dengan saya, hati kecil
tidak
dapat dibohongi,bahwa
kasus ini sarat dengan
ketidakadilan.Saya
menyadari,ada risiko
aliran tsunami
pengaduan jika Presiden
menerima
langsung Pak Indra
Azwan. Kasus sejenis Pak
Indra dan keluarganya, di
mana rakyat kecil
menjadi bulan-bulanan
penegakan hukum yang
diskriminatif dan
koruptif amatlah banyak.
Sekali pintu bertemu
Presiden dibuka, maka
sulit dihindari akan
muncul berbagai macam
kasus
lainnya.
Tetapi, dengan melihat
detail kasusnya yang
sangat
menyakitkan,dan
kegigihan Pak Indra
sendiri,akhirnya saya
melapor dan
merekomendasikan agar
Presiden SBY berkenan
menerimanya. Seperti
sudah
saya duga,Presiden SBY
tanpa berpikir panjang
berkenan untuk
menerima
Pak Indra, bahkan
akhirnya dengan
putrinya, pada Rabu
sore, 11 Agustus
lalu.Terlihat jelas binar
bahagia dan lega di
wajah Pak Indra Azwan
dan
putrinya ketika
berkesempatan
bersalaman dan
berbincang hangat
dengan
Presiden.Pak Indra
bahkan mengatakan,
“Rasanya plong.Tujuh
belas tahun
lebih luka hati saya
rasanya terobati, setelah
berhasil bertemu Bapak
Presiden.” Saya
katakan,“Maaf
Pak,sementara inilah
yang dapat kami
lakukan.
Tidak mungkin dapat
mengembalikan ananda
Rifki
Andika.” Tentu saja
pertemuan sebentar
tersebut belum
menyelesaikan
masalah
hukum,pekerjaan belum
selesai. Meski Pak Indra
Azwan sendiri
mengatakan, dia sendiri
sudah ikhlas dan lebih
tenang. Itulah ironi
penegakan hukum yang
dialami para masyarakat
kecil. Di sisi lain,
kasus-kasus besar
semacam mafia
peradilan, mafia korupsi,
mafia pajak
dan bea cukai, mafia
tambang dan
energi,mafia hutan,
mafia tanah, mafia
narkoba, mafia
perbankan dan pasar
modal dan mafia
perikanan tidak
sedikit yang tidak
diproses hukum. Atau
jika akhirnya diproses
pun
justru divonis bebas—
atau dihukum sangat
ringan.
Penyebab
utamanya tidak lain dan
tidak bukan adalah
penyakit mafia hukum
yang
sudah sangat
parah.Hukum yang
dijangkiti mafia, pastilah
koruptif dan
diskriminatif.Keadilan
tidak akan lahir dari
proses penegakan hukum
yang sarat praktik
mafioso. Hukum hanya
menjadi objek
transaksional
antara para penjahat
berduit dengan oknum
hakim, jaksa, advokat,
dan
polisi yang dengan tega
menggadaikan keadilan.
Padahal,tanpa hukum
yang
berkeadilan; hukum yang
nondiskriminatif; hukum
yang nonkoruptif; hukum
yang tidak menoleransi
mafia peradilan, suatu
bangsa tidak akan
mungkin
maju dan bermartabat.
Dengan hukum yang
koruptif dan
diskriminatif
politik akan terus
dibajak oleh politik uang;
demokrasi akan sarat
dengan korupsi; dan
ekonomi akan terus
berbiaya tinggi karena
suap dan
manipulasi di sana-sini.
Dengan hukum yang
diskriminatif dan
koruptif,kesejahteraan
bagi sebagian besar
rakyat Indonesia akan
semakin sulit untuk
diwujudkan.
Sebagaimana sabda
Rasulullah di awal
tulisan ini, dengan
hukum yang diskriminatif
dan koruptif, suatu kaum
tidak akan
makmur,tetapi
hancur.Akhirnya, salam
antimafia hukum. Doa
and Do the best.Keep
fighting for the better
Indonesia.(*
DENNY INDRAYANA
Staf Khusus Presiden
Bidang Hukum, HAM, dan
Pemberantasan KKN