x

Sabtu, 14 Agustus 2010

Kontra Terorisme .

Kenapa Kontra-terorisme
Gagal?
Wednesday, 11 August
2010
Setelah sekian lama
kurang mendapat
sorotan masalah
terorisme kembali
menyusupi tajuk utama
berbagai media cetak
nasional.
Kehebohan ini terutama
berkat tiga poin
peristiwa yang terjadi 7
Agustus
2010. Pertama,
penangkapan lima
tersangka terorisme di
Bandung,Bandung
Barat, dan
Subang.Kedua,
pernyataan Presiden SBY
(untuk kedua kalinya)
bahwa dirinya mendapat
ancaman terorisme.
Ketiga, penangkapan
pemimpin
Jamaah Ansharut Tauhid
Abu Bakar Baasyir (untuk
keempat kalinya dalam
sejarah hidupnya) oleh
Polri terkait dengan
keterlibatannya latihan
terorisme di Aceh yang
ditumpas Polri pada awal
tahun ini. Melihat
perkembangan terorisme
dan radikalisme
belakangan ini tampak
kewibawaan
negara, khususnya
penegak hukum, pada
titik nadir.
Laporan intelijen Badan
Intelijen Strategis (Bais)
TNI barubaru ini
memperlihatkan
bagaimana kelompok-
kelompok Islam radikal
telah
mengindoktrinasi
anggota-anggotanya
untuk tidak gentar
menghadapi
sanksi-sanksi hukum
yang diancamkan oleh
negara. Para penegak
hukum
mereka kategorikan
sama dengan musuh
Islam yang layak, bahkan
wajib
diperangi.Hukuman
pemenjaraan justru
mereka pandang sebagai
"liburan" di
tengah-tengah tugas
mereka dalam
organisasi.
Kelompok Islam radikal
juga leluasa melakukan
latihan bergaya
militer,meski polisi telah
berusaha menghentikan,
seperti terjadi di
Tawangmangu, Jawa
Tengah, Juni lalu.
Sebagian kalangan
masyarakat
kembali melontarkan
pertanyaan, mengapa
teroris baru kerap
bermunculan
meski penangkapan atau
pengeliminasian anggota
jaringan maupun
pemimpinnya telah
dilakukan?
Sejarah Panjang
Sedikit reintroduksi
tentang siapakah teroris
dalam tulisan ini.
Ancaman
terorisme di Indonesia
saat ini berasal dari
gerakan pendukung
Islamisme
yang telah memilih jalan
kekerasan sejak masa
awal kemerdekaan RI.
Islamisme sendiri adalah
ideologi politik yang
menempatkan Islam
pada
prinsip sentral yang
mendasari pengendalian
terhadap berbagai aspek
bangsa.
Perlu diingat bahwa kata
kunci yang
mengategorisasikan
suatu kelompok
atau individu sebagai
teroris adalah kekerasan
dan ideologi politik,
keduanya harus hadir
bersamaan.Dalam hal ini
ada kelompok yang
meyakini
jihad sebagai perjuangan
fisik melawan rezim atau
pemerintahan yang
tidak mau mewujudkan
Islamisme. Kelompok
yang disebut "jihadis" ini
di
Indonesia
termanifestasikan
sebagai Darul Islam/
Tentara Islam Indonesia
yang diteruskan oleh
kelompok Negara Islam
Indonesia. Sejak 1980
Indonesia merupakan
lahan subur
perkembangan Islamisme
dan salafisme
(pemurnian Islam).
Sejak pertengahan 1990-
an gagasan jihad
berevolusi menjadi
perlawanan
terhadap sumber
kekuatan rezim
kafir,yaitu AS, Israel, dan
sekutu-sekutunya. Untuk
itu dibentuk Front for
Jihad against Jews and
Crusaders (yang
selanjutnya kita kenal
sebagai Al- Qaeda) pada
1998 yang
terdiri atas berbagai
kelompok dan individu
lain dari Aljazair, Mesir,
Bangladesh, dan
Pakistan, yang saling
independen tetapi
berbagi
kemiripan ideologi.
Jemaah Islamiyah
merupakan bagian dari
entitas
ini,dan ia membangun
afiliasi nonformal dengan
berbagai lembaga
pendidikan Islam di
Indonesia.Hanya
sebagian alumni lembaga
ini yang
terlibat aksi terorisme.
Tapi jaringan di antara
mereka tidak terputus,
begitu pula jaringan
antaralumni Afghanistan,
yang kemudian meluas
dengan alumni dari pusat
pelatihan di Mindanao
dan konflik di Ambon dan
Poso.Pelaksana
terorisme
saat ini berasal dari
kelompok Islamisme
radikal yang beraliran
nasionalis seperti FPI
maupun antinegara
seperti Ring Banten.
Meski
sejarah Islamisme di
Indonesia bukanlah
sejarah para
pemenang,melainkan
sejarah pergerakan yang
diremukkan oleh rezim
dan terfragmentasi, tapi
kelompok masyarakat
yang meyakini gagasan
ini tidak pernah hilang.
Tanpa kepemimpinan
atau koordinasi pun
gerakan Islamisme di
Indonesia
mampu melibatkan
operator-operator
individual atau sel-sel
kecil yang
berfungsi secara
independen dalam
mengejar tujuan yang
telah
dipahami,dalam studi
terorisme ini lazim
disebut leaderless
resistance.
Memutus Rantai
Studi terorisme
internasional melihat
bahwa kelompok
terorisme tidak
selalu bisa berakhir
hanya dengan
penangkapan atau
pengeliminasian
pemimpinnya. Sejarah
terorisme internasional
memperlihatkan hanya
kelompok dengan
struktur organisasi yang
jelas dan daya mobilisasi
massa
yang terbatas saja, yang
dapat diakhiri dengan
cara seperti ini.
Tercatat kelompok
Partai Pekerja Kurdi
(PKK),Aum Shinrikyo,
Real Irish
Republican Army,dan
Sendero Luminoso,
sebagai kelompok-
kelompok dengan
metode terorisme yang
berakhir atau pecah dan
melemah secara drastis
setelah pemimpinnya
ditangkap atau
dibunuh.Mereka semua
memiliki
struktur organisasi yang
jelas. Kelompok
terorisme Indonesia,
yang
menyerupai rangkaian
buah anggur tidak bisa
diperlakukan sebagai
organisasi dengan
struktur kepemimpinan
yang jelas, melainkan
terdiri
atas individu- individu
yang siap bergerak
kapan pun ada yang
mengoordinasikan. Kita
masih ingat bagaimana
pada 2005 Noordin M Top
dapat bergerak leluasa
di sekitar Jawa Tengah,
bahkan di tempat-
tempat
yang memasang poster
dirinya sebagai buronan
polisi.
Dia memanfaatkan
individu-individu yang
setiap saat dapat
ditemukan oleh
orang-orang lingkaran
dalamnya, dan diajak
untuk melakukan "aksi
amaliah". Dengan kondisi
jaringan terorisme
seperti ini, penangkapan
dan
pembunuhan gembong
teroris saja bisa
menimbulkan kejutan
balik
(backfire) berupa
peningkatan publisitas
dari para teroris yang
tewas
sebagai martir yang akan
menarik anggota-
anggota baru.Ini
sebabnya
mengapa teroris lebih
baik ditangkap,bukan
dibunuh; tidak semata-
mata
demi penegakan HAM,
tetapi demi efektivitas
kontra-terorisme itu
sendiri
dalam menghancurkan
organisasi terorisme.
Pemimpin atau
organisator terorisme
yang tertangkap pun
harus
diisolasikan secara total
dari interaksi dengan
dunia luar, termasuk
dengan sesama
tersangka lain, mereka
dilucuti dari segala
bentuk
kredibilitas
kepemimpinan dan
komunikasi, agar
pengikut atau calon
pengikutnya mengalami
demoralisasi. Ada dua
cara lain yang bisa
mengakhiri petualangan
kelompok terorisme.
Pertama,memutus
regenerasi
kepemimpinan dan
menghilangkan
kemampuan
memobilisasi
pendukung.Tanpa
kemampuan untuk
mengartikulasikan visi
yang jernih dari tujuan
akhir
pergerakan kepada para
penerus,kelompok
terorisme akan
tereliminasikan.
Kedua, kelompok teroris
tidak akan selamat
tanpa dukungan dari
populasi
di sekitarnya. Itu
termasuk
menyembunyikan buron,
menggalang dana,ikut
serta dalam persiapan
dan eksekusi, hingga
yang pasif berupa
ketidakpedulian
terhadap tanda-tanda
aktivitas
terorisme,menurunnya
kerja sama dengan
penyidik kepolisian, dan
ekspresi dukungan
terhadap
tujuan kelompok
teroris.Ini tidak akan
sulit bila pemerintah
mau
berusaha, karena
sebagian besar
masyarakat secara
alamiah lebih memilih
ketiadaan ancaman
terorisme maupun
pemberlakuan keadaan
darurat dalam
kontra-terorisme.
Sesungguhnya gerakan
Islamisme radikal
Indonesia sudah
berkali- kali melakukan
kesalahan serius karena
pemilihan metode dan
korban.
Aksi bom bunuh diri
dengan korban massal
(mass casualty) yang
mereka
lakukan sejak 2002
hingga 2009 telah
mengorbankan banyak
warga sipil
yang hanya karena
kebetulan ada di lokasi
kejadian, tapi sedikit
sekali
usaha yang dilakukan
pemerintah untuk
memanfaatkan
kesalahan. Respons
multimedia terkoordinasi
semestinya dilakukan
sebagai bagian dari
operasi kontraterorisme,
untuk membentuk
ketidaksukaan publik
terhadap
kelompok terorisme.Ini
dilakukan dengan
memperlihatkan
perspektif
korban-korban tak
berdosa, ketidaksetujuan
terhadap visi kelompok
yang
melakukan aksi, sempit
dan sesat pikir dari para
pendukung dan
partisipan terorisme, dan
kesediaan kelompok
teroris menghalalkan
penjagalan dan
pembunuhan korban-
korban sipil.
Publikasi pengejaran,
penggerebekan,
penangkapan dan
pembunuhan
tersangka terorisme
justru membuat rakyat
semakin resah akan
operasi
kontra-terorisme yang
tak berkesudahan.
Terlebih publikasi
Presiden akan
ancaman terorisme yang
ditujukan kepadanya,
yang justru
meningkatkan
moralitas terorisme
karena mereka melihat
aksinya berhasil
menciptakan
ancaman yang
berkredibilitas. Memutus
mobilisasi dukungan
terhadap
kelompok terorisme juga
dilakukan dengan
memberikan alternatif
yang
lebih baik kepada
mereka yang berpikir
ingin bergabung dengan
terorisme,
melalui gerakan
reformasi membersihkan
birokrasi, meningkatkan
pengeluaran untuk
kesejahteraan dan
pendidikan,menciptakan
lebih banyak
lapangan pekerjaan di
wilayahwilayah yang
kurang mendapat
perhatian
pembangunan.
Penelitian empirik telah
membuktikan bahwa
rasa kehilangan
martabat
(indignation) atau
kefrustrasian pada
segmen-segmen tertentu
dalam
masyarakat bisa menjadi
faktor krusial pada
keputusan bergabung
dengan
kelompok teroris.(*)
Ali Abdullah Wibisono
Manajer Program Studi
Terorisme dalam
Keamanan Internasional
UI