Blog Kompasiana
OPINI
Kamira Sanjaya | 14
Agustus 2010 | 00:05
Ada..tiada..ada..tiada..
ada..tiada..tokek..
Mungkin begitu kurang
lebih bunyi tokek di
ruangan pengadilan
tipikornya Anggodo, saat
dengar istilah “Rekaman
Ade-Ari”. Kalau Kapolri
dan Jaksa Agung dibawa
ke burung beo-nya
Kaligis, mungkin
ngocehnya jadi “kamu
bohong..kamu bohong..
Tapi bener ga sih, kedua
petinggi hukum di
Indonesia itu “bohong”
seperti dibilang beo-nya
Kaligis ? Atau memang
benar tak ada itu
rekaman pembicaraan
Ade-Ari. Adanya cuman
CDR alias billing
teleponnya Ari / Ade ?
Saya tidak mau ikut-
ikutan terlarut bunyi
tokek atau ocehan beo.
Akal sehat saya masih
sanggup bernalar. Kalau
hanya punya CDR, koq
dulu di depan Komisi III
wajahnya BHD dan
Hendarman tampak
serius meyakinkan, jika
kasus Anggodo layak
diajukan ke pengadilan.
Patokan saya kiprah
penegak hukum di 2
kasus. Pertama, kasus
pembunuhan Munir
dengan Terdakwa
Muchdi PR. Barang bukti
di pengadilan salah
satunya CDR dari HP-nya
Muchdi. Hasilnya..Cirus
Sinaga selaku JPU gagal
total menyeret Muchdi
ke hotel prodeo.
Kedua, kasus
pembunuhan Nasrudin
dengan terdakwa
Antasari. Barang bukti
utama rekaman telpon
“mesum”nya Antasari
dan Rani. Ada juga bukti
CDR dari para eksekutor.
Tapi itu tak lebih buat
dipakai untuk
menguatkan keberadaan
mereka di TKP.
Hasilnya..Cirus Sinaga
sukses menggelandang
Antasari ke bui. Polisi
dan Jaksa solid bahu
membahu mencari
barang bukti untuk
menjerat Antasari. Lepas
itu, duo BHD dan
Hendarman
memproklamirkan sosok
“Godzila” yang siap
“menerkam” siapa saja
yang menyerang institusi
keduanya.
Pertanyaan nalarnya,
kalau hanya berbekal
CDR, apa kejaksaan ingin
seperti keledai yang
harus terpelosok ke
lobang yang sama alias
kalah lagi di pengadilan ?
Atau, lebih dari itu,
karena ingin mengulang
sukses di kasus Antasari,
pasti barang buktinya
tak cuma itu ?
Perlu diingat. Saat kedua
petinggi hukum tadi
didengar keterangannya
di DPR, Tim 5 -nya
Buyung sudah
menyatakan, kasus Bibit-
Chandra tidak kuat
dimajukan ke
pengadilan. Tapi, baik
Polisi maupun Jaksa
keukeuh maju terus. DPR
yang awalnya sepaham
dengan rekomendasi Tim
5, begitu mendengar
keyakinan kedua pejabat
tadi, jadi gamang.
Dapat dukungan dari
Anggota Dewan, Polisi
“nekad” melimpahkan
berkas Bibit-Chandra ke
Jaksa. Tak kurang sigap,
Jaksa segera memproses
P-21, alias siap
dilimpahkan ke
pengadilan. Namun,
sebelum aksi nekad
berlanjut, buru-buru SBY
memberi arahan agar
kasus Bibit-Chandra
diselesaikan di luar
pengadlan. Meski begitu,
tetap saja, bukan SP-3
yang diteken. Melainkan
SKPP. Artinya, baik Jaksa
maupun Polisi yakin
cukup bukti, hanya
karena “dilarang”
makanya dihentikan.
Melihat sikap patah
arang demikan, PN
Jakarta Selatan, memberi
angin untuk
dimajukannya kembali
kasus B-C ke pengadilan.
Lewat kemenangan pra
peradilannya Anggodo.
Jaksa dan Polisi senyum
kecut. Mau dilanjutkan
tak ada untungnya,
karena kelihatan tidak
profesional menyetop
kasus, tak dilanjutkan,
dikira benar tuduhan
rekayasanya. Akhirnya,
saling lempar bola panas
Trunojoyo-Blok M.
Niat memajukan kembali
kasus BC ke pengadilan
benar-benar layu
sebelum berkembang
tatkala Susno meniup
peluit kasus Mafia Pajak.
Tak hanya menyerang
koleganya di institusi
kepolisian, Susno juga
“melabrak” jaksa Cirus
dkk. Terjadi dikotomi,
antara Susno dan Polisi-
Jaksa. Memenangkan
kasus B-C jadi ibarat
menaikkan lagi pamor
Susno. Untuk apa ? Toh,
sang mantan
kabareskrim sudah
mendekam di sel Kelapa
Dua.
Soal memperkarakan
KPK lewat Bibit-Chandra,
sudah rahasia umum, itu
adalah gawean Susno.
Padahal saat pra
peradilan dimenangkan
Anggodo, Susno bukan
lagi sosok Bhayangkara
“terhormat”. Dia sedang
menghadapi tuduhan
sebagai oknum perwira
berprofesi ganda, yang
nyambi makelar perkara.
Saat rekaman
pembicaraan Antasari
terbongkar, Susno-lah
Kabareskrimnya. So,
terlalu sembrono
seorang reserse
bangkotan nekad
mempertaruhkan
jabatan dan
profesionalismenya guna
menjerat kebobrokan
petinggi KPK hanya
bermodal barang bukti
CDR. Pastilah dia dan
institusinya bakal jadi
pecundang dan bahan
ketawaan jutaan
penduduk Indonesia.
Karena menggunakan
barang bukti seadanya.
Niatan jadi Kapolri pun
bakal tak kesampaian.
Ade Raharja adalah
karibnya Susno. Kalau
KPK bisa merekam
pembicaraan Susno
dengan Lukas soal
transaksi “damai” duit
Century-nya Sampoerna,
apa tidak bisa ganti
Susno menjebak petinggi
KPK untuk damai dengan
Anggodo ? Itulah sinyal
yang dimaksud Susno
dengan kontra intelejen.
Yang sangat mungkin
terjadi adalah barter.
Susno tak diungkap
rekaman
pembicaraannya dengan
Lukas..demikian pula soal
rekaman KPK.
Sesaat setelah Susno
lengser sebagai
Kabareskrim, desakan
Ade mundur dari KPK
ikut mengemuka. Tapi,
sampai saat ini maksud
tadi tak juga
kesampaian.
Bagaimanapun juga,
melengserkan Jaksa Fery
dan Jenderal Ade dari
KPK (meski ketimpa
sorotan miring) bukan
perkara gampang. KPK
mesti bijak
mempertimbangkan
hubungan kelembagaan
dengan kedua institusi
tadi.
Kembali ke soal
rekaman. Saat ini tak
ada “untungnya” bagi
Polri menuruti kemauan
Hakim untuk
menyerahkan rekaman
pembicaraan ADE-ARI.
Apalagi, kalau ujung-
ujungnya bakal menjerat
perwira tinggi mereka
sendiri di KPK. Lain itu,
memberikan rekaman
pembicaraan, sama
halnya menghidupkan
kembali nama Susno
yang sudah dikubur
dalam-dalam.
Tatkala upaya Kapolri ke
MA untuk tidak
mensahkan rekaman
pembicaraan sebagai
barang bukti gagal, tak
ada jalan lain kecuali
bilang tidak ada. Masih
banyak alibi yang bisa
dikemukakan Kapolri dan
Jaksa Agung untuk
“merevisi” ucapannya di
depan DPR tempo hari.
Termasuk senjata akhir,
“dikibulin anak
buahnya”, salah satunya
Susno, yang sekarang
jadi pesakitan.
Masyarakat-pun
sepertinya lebih senang
kalau Anggodo ditahan,
ketimbang Polisi dan KPK
kembali diobok-obok
Anggodo dan Kaligis…ya
tho ?
Terakhir, ada baiknya
masyarakat menganggap
bohongnya Kapolri dan
Jaksa Agung, jika
keduanya dianggap
demikian, sebagai
“bohong putih” demi
kemaslahatan. So,
biarkan saja Anggodo
dan Ari Muladi masuk
penjara. Daripada terus-
terusan jadi virusnya
penegakkan hukum di
negara kita. Tak usah
lagi kita ributkan
“bohong”-nya
Hendarman dan BHD.
Toh, sebentar lagi
keduanya juga diganti.