Misteri Psikologi Century
Wednesday, 27 January
2010
DI tengah era ketika
ideologi pasar bebas
telah dianggap sebagai
kenangan masa lalu,
jarang kita menemukan
penulis buku seperti
Thomas
Friedman yang dengan
begitu antusias
menyampaikan
keyakinannya:
"But in the end, if you
want higher standard of
living in a world
without walls,free
market is the only
ideological alternative
left.
One road. Different
speeds. But one road
(The Lexus and the Olive
Tree,
1999: 104). Bagi Friedman,
globalisasi bukan pilihan,
melainkan
realitas. Gerak dan arah
globalisasi ini ditentukan
oleh kekuatan
besar yang dinamakan
Electronic Herd, yaitu
kerumunan pemilik
modal
besar yang dengan
dukungan teknologi
canggih bekerja
sepanjang waktu
mencari peluang-peluang
investasi paling
menguntungkan di
seluruh
penjuru dunia.
Mereka bekerja dengan
logika kapitalisme pasar
bebas. Mereka tidak
peduli dituduh sebagai
moron, konspirasi Yahudi
atau sebutan lain.
Urusan mereka hanya
mengejar keuntungan
terbesar. Kekuatan
modal yang
tergabung dalam
kerumunan ini amat
dahsyat.Pada akhir abad
lalu saja
mereka diperkirakan
menguasai sekitar 85%
modal bebas dunia
(hedge
funds). Melalui kontrol
modal yang ada, mereka
mampu menyulap sebuah
negara menjadi pasar
investasi yang
menggiurkan, tetapi
pada saat
berbeda juga mampu
melahirkan kepanikan
luar biasa.
Cara kerja mereka sering
bersifat spontan, sering
tidak rasional, dan
banyak mengandalkan
dimensi kepercayaan
pasar (market
confidence).
Motif dan perilaku tidak
rasional investor global
ini mirip dengan
pola tingkah binatang
(spiritus
animalis).Kombinasi
perasaan, kesan,
naluri, sentimen, ambisi,
ilusi, ikut-ikutan, dan
keberanian
berspekulasi campur
aduk membentuk pola
yang sukar untuk
diukur.Energi
tersembunyi ini
menggerakkan pilihan-
pilihan yang mereka
lakukan.
Energi ini pula yang
membuat pasar
mengalami fluktuasi,
pasang surut.
Seluk beluk psikologi
kerumunan ini ditulis
oleh George Akerlof dan
Robert Schiller dalam
buku Animal Spirits
(2009). Aspek psikologi
pasar akhirakhir ini
banyak dibicarakan
dalam kaitan dengan
kasus Bank
Century. Dalam kasus ini,
Bank Indonesia
menggunakan tambahan
dimensi
psikologis untuk menilai
Bank Century sebagai
bank gagal yang
ditengarai berdampak
sistemik. Dalam paparan
di depan rapat terbuka
Komite Stabilitas Sektor
Keuangan (KSSK),
dimensi psikologi pasar
atau
psikologi masyarakat ini
banyak diperdebatkan.
Ada kekhawatiran,
penutupan Bank Century
akan menimbulkan
gelombang
kepanikan yang
membahayakan sistem
perbankan dan
perekonomian
nasional. KSSK akhirnya
memutuskan Bank
Century sebagai bank
gagal
berdampak sistemik
(21/11/2008). Dengan
menggunakan
ukuranukuran
objektif yang biasa
digunakan dalam
perbankan, Bank Century
masuk
kategori kecil atau
dalam bahasa
Burhanuddin Abdullah
dan Anwar
Nasution tidak termasuk
dalam kategori SIB
(systematically
important
bank).
Dalam kondisi normal,
pilihan untuk menutup
bank merupakan pilihan
yang mudah diambil.
Namun, dalam kondisi
krisis, bersandar pada
dimensi psikologi pasar
yang diduga rentan dan
eksplosif, KSSK
memutuskan untuk
menyelamatkan bank ini
dan menyerahkan
kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
Apakah kekhawatiran
terhadap psikologi pasar
atau psikologi
masyarakat tidak
dilebih-lebihkan?
Soalnya, pada saat
Bank Indonesia
melakukan analisis
terhadap Bank Indover,
Oktober 2008,
kekhawatiran yang sama
juga disampaikan.
Ketika Indover akhirnya
dibiarkan, ternyata
potensi dampak sistemik
yang dikhawatirkan
tidak terjadi. Jangan-
jangan keputusan
terhadap
Bank Century dibuat
dalam kondisi para
pengambil keputusan
benar-benar
berada dalam psikologi
ketakutan di bawah
bayang-bayang krisis.
Bila
ini yang terjadi, Bank
Century sesungguhnya
hanya pantas diputuskan
sebagai bank gagal
berdampak psikologis.
Perlakuan istimewa
terhadap Bank Century
juga dihubungkan
dengan Bank
IFI yang telah masuk
dalam unit pengawasan
khusus Bank Indonesia
dua
bulan lebih awal
dibandingkan Bank
Century (09/09/
2008).Sumber
masalah yang dihadapi
Bank IFI boleh
dikategorikan lebih
ringan karena
tidak ada persoalan akut
tentang surat-surat
berharga yang
berkualitas
rendah dan rekam jejak
pemegang saham
pengendali yang lebih
baik.
Mengapa kebijakan yang
diambil berbeda, dalam
arti mengapa Bank IFI
seperti ditelantarkan
sampai menemui ajalnya
(17/04/2009)? Sebaliknya,
untuk Bank Century,
peraturan-peraturan
diubah dengan tenggat
waktu
yang begitu mepet
dengan pencairan
fasilitas pendanaan dan
penyertaan
modalnya. Perubahan-
perubahan juga
dilakukan secara
bertubi-tubi atau
ngebet dan kebelet
(meminjam istilah Rizal
Ramli).Akurasi dan
kekinian
data sepertinya juga
dikorbankan.
Rapat perubahan
peraturan Bank
Indonesia dilakukan larut
malam sampai
dini hari, bahkan
sebelumnya didahului
konferensi jarak jauh,
lalu
pencairan dana
dilakukan pada hari-hari
libur. Bahkan perubahan
peraturan LPS dilakukan
30 menit sebelum
persetujuan penambahan
dana
diberikan. Tampaknya
misteri di seputar kasus
Bank Century terletak
pada dimensi psikologis
ini.
Apakah ketakutan akan
terjadinya penarikan
dana besar-besaran
sengaja
diembuskan oleh para
deposan besar yang
masuk dalam kerumunan
investor
(herd) seperti yang
ditulis Friedman,Akerlof,
dan Schiller di atas?
Psikologi siapa yang
sesungguhnya memegang
peranan dalam kasus ini?
(*)
PROF HENDRAWAN
SUPRATIKNO PH.D*
Pengamat Ekonomi