x

Senin, 18 Januari 2010

> Jan 17 06:24PM -0800 ^
Fasli Jalal:
Sistem Evaluasi Harus
Ada
Derasnya kritik tak
menyurutkan niat
Kementerian Pendidikan
Nasional
melaksanakan ujian
akhir nasional tahun ini.
Kementerian Pendidikan
juga seakan tak peduli
meski pada September
lalu telah kalah
beperkara
di Mahkamah Agung
dalam gugatan terhadap
ujian nasional.
Dalam putusannya,
Mahkamah
memerintahkan
Kementerian Pendidikan
memperbaiki sarana-
prasarana pendidikan,
kualitas guru, dan akses
informasi, serta
membuat prosedur
penanganan siswa yang
gagal tes,
sebelum kembali
melaksanakan ujian
nasional. Dalam putusan
itu,
Mahkamah memang
tidak secara eksplisit
melarang ujian nasional.
Gatot Goei, Koordinator
Tim Advokasi Korban
Ujian Nasional,
mengatakan
pemerintah mestinya
menunda ujian nasional
sebelum semua syarat
Mahkamah dipenuhi.
Namun, menurut Fasli
Jalal, pemerintah sudah
menjalankan sebagian
syarat yang diminta
Mahkamah. Jadi tak ada
alasan
ujian nasional tahun ini
ditunda atau dibatalkan.
Dia yakin ujian nasional
merupakan metode
evaluasi murid yang
terbaik
untuk saat ini. "Tapi
kami siap mendengarkan
masukan dari mana pun,"
kata Fasli, yang baru
dilantik sebagai Wakil
Menteri Pendidikan
Nasional dua pekan lalu.
Fasli merupakan birokrat
berpengalaman.
Menapaki karier dari
Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional,
dia kemudian ikut
berperan
merencanakan sistem
pendidikan nasional
dalam sepuluh tahun
terakhir.
Dikenal sebagai figur
profesional, Fasli mudah
bergaul dan diterima
oleh kalangan pemangku
kepentingan di bidang
pendidikan. Jumat pekan
lalu, dia memaparkan
beberapa masalah
pendidikan di negeri ini
kepada
Tempo di kantornya.
Mengapa pemerintah
tetap melaksanakan
ujian nasional meski ada
putusan
Mahkamah Agung yang
"melarang"?
Menurut Biro Humas
Mahkamah, tidak ada
larangan ujian nasional.
Mahkamah hanya
memutuskan syarat yang
harus kami penuhi
sebelum
melaksanakan ujian
nasional, yakni
memperbaiki sarana-
prasarana
pendidikan, mutu guru,
dan akses informasi.
Berapa tinggi syarat ini
harus dipenuhi, itu
terserah Kementerian
Pendidikan.
Bagaimana Kementerian
Pendidikan memenuhi
syarat Mahkamah?
Sebagian syarat itu
sudah kami penuhi
karena, misalnya, pada
2006
Kementerian Pendidikan
memberikan Rp 5 triliun
untuk biaya operasional
sekolah. Dulu tak
sepeser pun ada
anggaran seperti itu.
Setahun
kemudian anggarannya
naik menjadi Rp 12 triliun
dan tahun lalu menjadi
Rp 18 triliun. Sejak 2007,
kami juga memberikan
dana tunjangan profesi
guru. Dari semula hanya
Rp 1,2 triliun, tahun ini
anggaran untuk
tunjangan profesi
dialokasikan Rp 15
triliun. Untuk
merehabilitasi
sekolah, dianggarkan Rp
625 miliar lima tahun
lalu. Dan sekarang
anggaran rehabilitasi
sudah melonjak menjadi
Rp 10,7 triliun. Makanya
kami memutuskan tetap
melaksanakan ujian
nasional.
Apa pentingnya ujian
nasional?
Sistem evaluasi murid,
tidak bisa tidak, harus
ada. Kita sudah
punya pengalaman
panjang sejak zaman
Belanda hingga 1971,
yakni ujian
negara. Ketika Indonesia
masuk era Repelita pada
1969, salah satu yang
hendak digenjot adalah
angka partisipasi
pendidikan. Setelah
dikaji,
penyebab rendahnya
angka partisipasi
pendidikan, selain
kurang sekolah
dan kurang guru, adalah
banyak yang mengulang.
Akhirnya, metode
evaluasinya diganti.
Semua diserahkan ke
sekolah. Sesudah hal itu
jalan sepuluh tahun,
karena semangat
meluluskan murid 100
persen,
mutunya tak bisa lagi
diraba. Apakah lulus 100
persen di Papua sama
dengan lulus 100 persen
di Yogyakarta?
Banyak yang
beranggapan metode
Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional
(Ebtanas) cukup ideal....
Setelah fase pertama
evaluasi dianggap gagal,
pada 1982 metodenya
diganti dengan metode
Ebtanas, yakni rata-rata
nilai rapor tahun
terakhir digabung
dengan nilai ujian
Ebtanas. Ini kan mestinya
yang
paling ideal. Tapi, karena
semangat meluluskan 100
persen, walaupun
nilai Ebtanasnya hanya
empat atau tiga, supaya
murid tetap lulus,
nilai rapornya di-mark
up. Setelah 20 tahun,
Menteri Pendidikan
Abdul
Malik Fadjar
menghentikan metode
Ebtanas. Enough is
enough. Perlu
standar evaluasi nasional
untuk syarat kelulusan.
Apakah standar
kelulusan ujian nasional
tidak kelewat tinggi?
Dari sisi itu, kalau orang
ingin mutu bagus,
mestinya dia mengeluh
mengapa standar ujian
nasional terlalu rendah.
Pada 2010 ini kami tak
menaikkan standar
kelulusan dan
memperkenankan dua
nilai empat di
hasil ujian nasional,
supaya sekolah yang
masih tertatih-tatih
tidak
merasa dirugikan. Jadi,
meskipun ada dua nilai
empat, asalkan rata-
ratanya 5,5, dia tetap
lulus. Kalau tak lulus, dia
masih bisa
mengikuti ujian ulangan.
Jika masih gagal juga, dia
bisa ikut ujian
kesetaraan atau paket C.
Mengapa evaluasi itu
menjadi syarat
kelulusan?
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional
mengharuskan
pemerintah
melalui lembaga
independen melakukan
evaluasi terhadap
peserta didik
dan satuan pendidikan.
Yang penting sebenarnya
hasil ujian itu bisa
dipakai untuk
memetakan apa yang
terjadi dalam pendidikan
di suatu
daerah dan bagaimana
daya serapnya terhadap
suatu pelajaran.
Pemerintah daerah
dengan dukungan
Kementerian Pendidikan
akan
memetakan apa saja
masalah yang tecermin
dari hasil ujian nasional.
Bukankah di negara maju
evaluasinya tak seperti
itu?
Selama pemerintahan
Presiden George W. Bush,
Amerika Serikat
kembali memberlakukan
ujian nasional sebagai
syarat kelulusan. Sebab,
mereka sadar sudah jauh
tertinggal di beberapa
olimpiade sains.
Tidak ada rencana
menurunkan standar
kelulusan?
Kita sedang
menegosiasikan
seberapa rendah standar
kelulusan itu.
Kalau mau, bisa saja
diturunkan ke dua.
Sehingga, bagi sekolah
yang
maju, ujian nasional tak
lagi ada artinya. Tapi,
bagi sekolah yang
tertinggal, ini barangkali
menggembirakan. Tapi
apa kita tak malu jika
standar kelulusannya
hanya dua atau tiga?
Bagi sekolah seperti
Kanisius atau Al-Azhar di
Jakarta, standar ini
sebenarnya tak banyak
artinya. Paling pihak
sekolah cemas kalau ada
satu atau dua anaknya
yang tidak lulus. Kalau
ada satu atau dua anak
yang gagal, sebenarnya
tak usah diributkan.
Lebih baik dicek kenapa
anak itu gagal.
Apa upaya untuk
mendekatkan kurikulum
pendidikan dengan dunia
kerja?
Tak mungkin mengubah
kurikulum setiap tahun.
Harus dibedakan mana
yang kurikulum inti dan
mana yang simulasi dunia
kerja. Yang hendak
dicapai adalah
retainability, sehingga
mudah di-training saat
beralih
pekerjaan, baik karena
perubahan teknologi
maupun pindah ke
tempat
lain. Maka pelajaran
matematika,
kemampuan
berkomunikasi, dan
bekerja
dalam tim menjadi
penting. Baru setelah itu
diperkaya dengan
keterampilan-
keterampilan yang
diperlukan di dunia
kerja.
Apakah penerjemahan
konsep link and match ini
dengan memperbanyak
sekolah kejuruan?
Itu sudah masuk rencana
jangka panjang. Tapi
kami mesti hati-hati
betul untuk memastikan
seberapa banyak
kebutuhannya dan
bagaimana
memastikan mutu. Kalau
membuat sekolah
kejuruan tak bermutu,
sebenarnya kita sudah
menganiaya anak-anak
itu. Mereka merasa
sudah
dilabeli sekolah
kejuruan, tentu
harapannya sudah
tersedia lapangan
kerja sesuai dengan
kompetensinya. Kalau
harapan itu tak
terpenuhi,
ketika mereka dites
masuk kerja dan
ternyata gagal, ujung-
ujungnya
mereka frustrasi.
Berapa besar porsi
pendidikan kejuruan?
Biasanya yang terus
melanjutkan pendidikan
di jalur akademis
sekitar sepertiga murid.
Sisanya yang dua pertiga
bukan berarti
dipaksakan langsung
masuk jalur vokasi. Bisa
saja lewat program
nonformal, misalnya
kursus enam bulan atau
sembilan bulan, sesuai
dengan yang dia mau.
Kalau mau jadi penjahit,
ya kursus menjahit, atau
mau buka bengkel ya
kursus montir. Program
itu diperkaya dengan
materi
kewirausahaan, sehingga
dia bisa mandiri, tidak
selalu bekerja pada
orang lain.
Apa prioritas lainnya?
Prioritas ketiga, presiden
ingin sejumlah perguruan
tinggi
Indonesia bisa bersaing
di tingkat global,
menjadi world class
university.
Masih banyakkah anak
yang tidak bisa
mengecap sekolah?
Ada tiga parameter. Jika
dilihat dari angka
partisipasi sekolah,
yakni anak umur 7-12
tahun yang bersekolah,
sekitar 98 persen.
Namun,
jika diukur dari angka
partisipasi kasar, yakni
jumlah murid sekolah
dasar dibagi jumlah anak
umur 7-12 tahun,
angkanya sudah
melampaui 115
persen karena banyak
anak usia lima atau
enam tahun sudah masuk
SD.
Sedangkan di daerah
terpencil, banyak anak
terlambat masuk SD dan
tinggal kelas, sehingga
jumlah murid SD
membengkak. Tapi,
kalau
dilihat dari angka
partisipasi murni, yaitu
murid SD usia 7-12 tahun
dibagi jumlah anak umur
7-12 tahun, angkanya
sekitar 96 persen. Untuk
sekolah menengah
pertama, angka
partisipasi kasar di atas
95 persen.
Tapi angka itu sebagian
disumbang anak usia SD
yang sudah masuk SMP.
Angka partisipasi
murninya sekitar 80
persen. Jika angka
partisipasi
kasar yang dipakai, itu
berarti masih ada sekitar
empat persen anak
usia SMP atau sekitar 520
ribu orang yang tidak
bersekolah.
Penyebabnya?
Menurut studi Bappenas,
itu karena hambatan
biaya, jarak dengan
sekolah, dan masalah
sosial budaya. Misalnya
di daerah itu sekolah
tidak dianggap penting.
Cukup bisa baca,
menulis, dan berhitung.
Di
beberapa industri juga
gaji lulusan SD dan
tamatan SMP tak ada
bedanya. Jadi, bagi
mereka, buat apa
sekolah tiga tahun lagi.
Apa upaya memenuhi
hak anak berkebutuhan
khusus, baik cacat fisik
maupun cacat mental?
Sekolah khusus sudah
ada di semua provinsi
dan di beberapa
kabupaten/kota. Tapi
yang terjangkau dengan
sekolah ini kira-kira
hanya sepuluh persen,
dan sebagian besar
sekolah swasta. Karena
sekolah ini mahal, perlu
banyak barang
operasional, dan rasio
guru-
muridnya tinggi,
kapasitas yang terbatas
harus dimaksimalkan.
Karena
itu, kami mencoba
mengalihkannya ke
sekolah-sekolah (umum)
inklusi.
Omong-omong, seperti
apa pembagian tugas
antara menteri dan wakil
menteri?
Tugas utama wakil
menteri adalah
membantu
menyukseskan kontrak
kinerja antara menteri
dan presiden. Kami tidak
punya kontrak kinerja
tersendiri. Jadi tidak ada
tugas bagi kami selain
harus berupaya
supaya kontrak kinerja
itu berhasil. Bagaimana
pembagian tugasnya, ini
diserahkan kepada
menteri masing-masing
sebagai penanggung
jawab utama
kontrak kinerja dari
presiden.
Fasli Jalal
Tempat dan tanggal
lahir: Padang Panjang,
Sumatera Barat, 1
September
1953
Pendidikan:
* Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas
Andalas, Padang (1982)
* Doktor dalam Ilmu Gizi
Masyarakat, Cornell
University, Amerika
Serikat (1991)
Pekerjaan:
* Dokter di PT Semen
Indarung (1983-1985)
* Dosen Fakultas
Kedokteran Universitas
Andalas, Padang (1982-
sekarang)
* Kepala Biro
Kesejahteraan Sosial,
Kesehatan, dan Gizi
Bappenas
(1993-1996)
* Kepala Biro Kesehatan
dan Gizi Bappenas (2000)
* Direktur Jenderal
Pendidikan Luar Sekolah
dan Pemuda Departemen
Pendidikan Nasional
(2001-2005)
* Direktur Jenderal
Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Depdiknas
(2005-2007)
* Direktur Jenderal