Kubu pendukung Menteri
Keuangan Sri Mulyani
Indrawati dan mantan
Gubernur
Bank Indonesia Boediono
kerap menuding ada
pihak lain yang
mempolitisasi
skandal bailout Bank
Century yang
membengkak hingga Rp
6,7 triliun ini.
Tetapi sesungguhnya,
justru pihak mereka lah
yang sedang melakukan
berbagai
upaya untuk mempolitisir
kasus ini dengan maksud
mengalihkan perhatian
publik.
Padahal sejak awal
anggota Pansus
Centurygate dan
berbagai kelompok
masyarakat yang secara
kritis mengikuti
pengusutan skandal ini
memilih fokus
pada hasil audit
investigatif yang
dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Di dalam audit itu, BPK
menemukan sejumlah
indikasi pelanggaran
kewenangan
dan tindak pidana saat
keputusan untuk
menggelontorkan dana
talangan bagi
Bank Century diambil
dalam Rapat Komite
Stabilitas Sektor
Keuangan (KSSK)
dinihari 21 November
2008. Bagi anggota
Pansus Centurygate dan
berbagai
kelompok masyarakat
yang kritis itu, hasil audit
ini adalah alat yang
paling
netral dan bebas dari
kepentingan politik
apapun yang dapat
digunakan
sebagai pisau analisa
untuk membedah
skandal ini.
Adapun kubu pendukung
Boediono dan Sri
Mulyani, karena
mengetahui bahwa di
dalam audit BPK itu Sri
Mulyani dan Boediono
menjadi dua pejabat
yang paling
bertanggung jawab
merasa harus bertindak
untuk menghindarkan
dua jago mereka
dari hantaman tsunami
Century.
Pengenaan pita atau ban
bertuliskan huruf M di
lengan pegawai
Departemen
Keuangan dalam
beberapa hari terakhir
adalah salah satu dari
politisasi ala
Sri Mulyani.
Sang Menkeu memang
belum pernah
mengklarifikasi apakah
dirinya yang
memberikan perintah,
langsung atau tidak
langsung, kepada
bawahannya di
Departemen Keuangan
untuk mengenakan pita
bertuliskan M di lengan
mereka.
Sementara perwakilan
pegawai Depkeu Kepala
Biro Humas Depkeu
Harry Z
Soeratin, mengatakan
bahwa gerakan yang
dilakukan oleh pegawai
Depkeu ini
didorong oleh rasa
prihatin, bukan karena
dimobilisasi.
Namun sikap diam dan
pembiaran Sri Mulyani
terhadap aksi ini
dapatlah kita
pandang sebagai bentuk
persetujuan dirinya atas
aksi tersebut. Sikap diam
Sri Mulyani ini minimal
sebuah restu. Padahal,
bila tidak menginginkan
pegawai Depkeu
melibatkan diri terlalu
dalam di tengah pusaran
skandal Bank
Century yang sedang
diselidiki oleh dua
lembaga tinggi negara,
Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan DPR, dan bila
ingin agar pegawai
Depkeu
fokus pada perkerjaan
mereka, seharusnyalah
Sri Mulyani
memerintahkan
pegawai Depkeu untuk
menghentikan aksi itu.
Tetapi Sri Mulyani
memilih untuk
mendiamkan dan
membiarkan. Hal ini
sebenarnya dapat
dipahami karena ia mulai
menikmati perlindungan
dan
"penghormatan tinggi"
yang diberikan pegawai
Depkeu untuk
kredibilitas
dirinya yang dipandang
tinggi.
Jurus politisasi
berikutnya yang
dilakukan Sri Mulyani
adalah dengan
memerintahkan
pengusutan pajak
anggota Pansus, dan juga
lawan politiknya
saat ini, Ketua Umum
Partai Golkar, Aburizal
Bakrie.
Sepintas perintah ini
terlihat positif. Tetapi
belakangan berkembang
kecurigaan bahwa
perintah ini tidak
didorong oleh keinginan
untuk
benar-benar
membereskan carut
marut dunia perpajakan
kita. Kecurigaan ini
berdasar, setidaknya bila
kita merujuk pada dua
kasus pajak besar yang
terjadi dalam
pemerintahan SBY
periode sebelumnya yang
melibatkan pengusaha
yang memiliki hubungan
dekat dengan SBY, Siti
Hartati Murdaya, dan PT
Asian
Agri.
Kontainer berisi puluhan
ribu sepatu milik Central
Cipta Murdaya (CCM)
yang
keluar tanpa izin
ditangkap petugas Bea
Cukai Bandara Soekarno
Hatta pada
akhir Maret 2007. Sang
pengusaha, Hartati
Murdaya, sempat
mendatangi Dirjen
Bea Cukai Anwar
Suprijadi. Menurut
Hartati Murdaya,
kontainer itu keluar
karena ada permainan di
tingkat bawah yang
tidak diketahui pihak
manajemen
perusahaannya. Tetapi
sang Dirjen Bea Cukai
bersikukuh tetap
memproses
penyelundupan ini.
Tak mau kalah, Hartati
Murdaya melayangkan
surat kepada atasan
Anwar,
Menteri Keuangan Sri
Mulyani. Sejak itu, kasus
penyelundupan sepatu
milik
Hartati Murdaya ini tak
jelas lagi juntrungannya.
Sementara kasus pajak
PT Asian Agri milik
Sukanto Tanoto lain lagi.
Kasus
ini dibongkar oleh
mantan group financial
controller Asian Agri,
Vincentius
Amin Sutanto, yang
melaporkannya ke KPK
akhir 2006. Awal 2007,
Dirjen Pajak
mengambil alih kasus ini
dan memperkirakan
kerugiaan negara
sebesar Rp 1,4
triliun. Sampai sekarang,
kasus pajak PT Asian Agri
ini pun tidak jelas
kabar berita dan
nasibnya.
Inilah antara lain hal-hal
yang membuat
kecurigaan begitu kuat,
bahwa Sri
Mulyani tidak sedang
sungguh-sungguh
membenahi persoalan
pajak saat
memerintahkan
pemeriksaan pajak
anggota Pansus
Centurygate dan Ical,
melainkan ingin sekadar
menukar guling kasus
yang menimpa dirinya.
Sri Mulyani juga
memerintahkan Badan
Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan
(BPKP) sebuah lembaga
di bawah Menkeu, untuk
memeriksa Bank
Century.
Permintaan ini
disampaikan Sri Mulyani
tanggal 9 Desember lalu
di depan
rapat BPKP. Menurut Sri
Mulyani, pemeriksaan
oleh BPKP itu perlu untuk
mengetahui apakah
keputusan mem-bailout
Bank Century melanggar
atau tidak
melanggar aturan
hukum. Sebagai atasan
BPKP, Sri Mulyani
mengatakan dirinya
memiliki kewenangan
untuk memerintahkan
BPKP karena kasus ini
menyangkut
fungsi bendahara negara
yang adalah dirinya
sendiri.
Pertanyaannya adalah,
bagaimana mungkin
sebuah lembaga di
bawah Menkeu
diminta memeriksa
skandal yang melibatkan
sang Menkeu? Kira-kira
akan
seperti apa hasil
pemeriksaan yang
dilakukan bawahan atas
kasus yang melilit
sang atasan? Bukankah
ini mengandung conflict
of interest?
Di sisi lain, perintah yang
diberikan Sri Mulyani
kepada BPKP ini juga
dapat
dikatakan melecehkan
hasil audit BPK, sebuah
lembaga negara yang
secara
konstitusional
kedudukannya setara
dengan Presiden, atasan
Menteri Keuangan.
Sri Mulyani juga
mempolitisasi kasus ini
dengan menyeret nama
Presiden SBY
ke pusat persoalan lewat
Ketua Unit Kerja
Presiden untuk
Pengelolaan Program
Reformasi (UKP3R) yang
hadir di dalam Rapat
KSSK dinihari 21
November 2008.
Sementara pihak
memiliki kecurigaan,
dengan menyeret SBY ke
tengah pusaran
skandal Bank Century, Sri
Mulyani sesungguhnya
tengah menerapkan
strategi
tiji tibeh, mati siji mati
kabeh, dan itu artinya
adalah black mail
terbuka
yang dialamatkan ke
Istana.