Akhir Perburuan Jenderal
Licin
Ia menyerah setelah
bertahun-tahun lolos dari
kejaran polisi militer.
Herman Sarens Soediro
dihadapkan ke
pengadilan militer untuk
perbuatan
yang dilakukan 40 tahun
lalu.
RUANG 305 Rumah Sakit
Mitra Kemayoran,
Jakarta, Jumat malam
pekan
lalu. Brigadir Jenderal
(Purnawirawan) Herman
Sarens Soediro sedang
terbaring dengan infus
menancap di lengan
kirinya. Di kamar sekitar
50
meter persegi itu,
tubuhnya berbalut
selimut dan lilitan syal di
leher. Tapi lelaki 79
tahun itu masih
menggebu-gebu ketika
bicara. "Di
sini ada dokter
pribadiku," ujarnya
kepada Tempo, yang
membesuknya.
Wajahnya terlihat
sumringah, tidak lagi
pucat seperti ketika dia
digelandang belasan
aparat dari polisi militer,
Selasa pekan lalu. Ia
urung menghuni rumah
tahanan militer
Cimanggis, Depok.
Padahal di
tempat itu Pusat Polisi
Militer telah menyiapkan
tempat khusus untuk
mantan Duta Besar RI
untuk Madagaskar ini.
Tertunda dihadapkan ke
oditur militer, dan demi
alasan kemanusiaan, ia
diperkenankan
menjalani perawatan.
Herman sudah lama
diincar setelah mengelak
bertahun-tahun dari
kejaran
oditur militer.
Penggemar motor gede
ini akhirnya tunduk
setelah
belasan petugas dari
Pusat Polisi Militer
mengintai
persembunyiannya
di salah satu cluster
mewah, di Taman Telaga
Golf, Vermont Parkland
Virginia Lagoon, BSD
City, Tangerang, Banten,
Selasa pekan lalu.
Penggemar kegiatan
berburu ini menyerah
setelah 29 jam dikepung.
Perburuan ini bukan
mendadak. Menurut
sumber Tempo,
pengejaran telah
dilakukan sejak dua
tahun lalu. Namun
Herman selalu saja lolos
dari
sergapan aparat.
Penyergapan pernah
dilakukan beberapa
bulan lalu,
sepulang Herman dari
Singapura. Namun
operasi polisi militer itu
rupanya bocor. Di Bandar
Udara Soekarno-Hatta,
Cengkareng, yang
mendarat hanya
keluarganya. Pria
kelahiran Pandeglang,
Banten, itu
dikabarkan mendarat di
Bali.
Renny Soediro, anak dari
istri keduanya, diduga
berperan penting di
balik pelarian Herman.
Tim pemburu akhirnya
menandai, di mana ada
Renny, di situ ada
ayahnya. Sabtu pekan
lalu, bertiup kabar
sedap:
melalui penelusuran
Global Positioning
System (GPS), anggota
tim
mengendus posisi Renny
di sebuah rumah di
kompleks Taman Telaga
Golf,
Tangerang.
l l l
FAJAR baru saja
menyingsing, ketika
sekelompok petugas
berpakaian
sipil menyusup masuk ke
kompleks Taman Telaga
Golf, Bumi Serpong
Damai, Sabtu dua pekan
lalu. Ada yang berpura-
pura berolahraga. Ada
yang berlagak sebagai
penyapu jalan dan
petugas satuan
pengamanan
kompleks. Tiga hari tim
pemburu mengumpulkan
keterangan untuk
mengendus posisi
Herman Sarens.
Setelah yakin akan posisi
buruan, petugas dari
Pusat Polisi Militer
itu membuka
penyamaran kepada
anggota satpam
setempat. Beberapa
petugas satpam
mengaku sempat
kecolongan dengan
masuknya orang-orang
tak dikenal itu. Mereka
lalu bekerja sama
memburu Herman
Sarens.
"Sekitar tiga hari,
mereka menggantikan
tugas kami," ujar
Muhammad
Zaki, 40 tahun, petugas
keamanan setempat.
Senin pagi itu, para
pemburu menyiagakan
dua anggota satpam
dadakan di
depan rumah Renny.
Mereka bertugas
memantau gerak-gerik
keluarga
Herman. Pukul enam
pagi, salah seorang
pembantu Renny,
Dzulkifli,
membuka pintu,
membersihkan lantai
teras. Petugas melihat
gelagat
mencurigakan, dua
kendaraan Toyota
Alphard dan Toyota
Avanza yang
biasa digunakan Herman
dan keluarganya telah
dihidupkan. "Sejumlah
koper dan tas juga sudah
disiapkan di ruang
tamu," ujar sumber
Tempo.
Tak ingin keduluan,
enam orang anggota tim,
dipimpin oditur militer
dari Mahkamah Militer
TNI, Mayor Wilder Boy,
merangsek masuk. Pintu
diketuk, mengucap
salam, lalu tim ini masuk
seraya menyebut
identitas
mereka. Saat itu
sekelebat bayangan
terlihat lari ke lantai
atas—
diduga dialah Herman
Sarens Sudiro.
Renny Soediro, putri
Herman, muncul
menemui mereka. Renny,
yang saat
itu mengenakan gaun
tidur putih, mengatakan
bahwa ayahnya tak ada
di
rumah dan sedang
berada di Singapura. Ia
juga menolak ketika
petugas
hendak menggeledah. Ia
beralasan, ini rumah dia,
bukan rumah Herman
Sarens.
Petugas tak percaya dan
berusaha mengecek ke
lantai atas. Namun
Renny
sigap menghalangi
seraya mengunci pintu
kamar di lantai atas,
sehingga
komunikasi antara
petugas dan Renny hanya
bisa dilakukan dari balik
pintu. Saat itu,
perempuan 35 tahun ini
mengusir para petugas.
Ia
menolak upaya paksa
yang dilakukan TNI,
dengan alasan orang
tuanya
warga sipil.
Negosiasi dilanjutkan di
ruang tamu. Selama
berlangsung
pembicaraan
itu, Renny, yang ditemani
seorang putranya,
terlihat mondar-mandir
menghubungi sejumlah
orang. Hasil berunding
dengan petugas yang
dipimpin oleh Mayor
Wilder Boy dan Mayor
Subur dari Komando
Daerah
Militer Jakarta Raya itu
berlangsung alot hingga
beberapa jam.
Ketika hendak digeledah,
Renny mengajukan
sejumlah syarat. Ia
meminta
didampingi polisi. Begitu
polisi didatangkan, dia
kembali bertanya
ihwal surat perintah
penggeledahan dari
oditur. Terpaksa surat
dikirimkan melalui
faksimile kepolisian
setempat. Belakangan
Renny
meminta waktu
seminggu untuk
menyerahkan sendiri
ayahnya. Namun polisi
militer menolak. Mereka
teringat pengalaman
serupa pada Oktober
tahun
lalu. Ketika itu Herman,
yang semula dijanjikan
akan menyerah,
ternyata menghilang.
Kesepakatan terjadi
setelah campur tangan
mantan Menteri Negara
Pemuda
dan Olahraga Adhyaksa
Dault. Herman
digelandang dengan
mobil
pribadinya sesuai dengan
keinginan keluarga,
bukan mobil tahanan
yang
telah disiapkan. Belasan
mobil petugas hanya
mengiring sang jenderal
dari belakang. "Saya
harus melindungi ayah
saya," ujar Renny kepada
Tempo. Ia menolak upaya
paksa karena, "Ayah
saya bukan teroris. Lagi
pula, ini urusan sengketa
kepemilikan, bukan
penyalahgunaan
wewenang
seperti dituduhkan
tentara."
Di Markas Besar TNI
Cijantung, Herman tak
menuju ruang tahanan.
Ia
menjalani pemeriksaan
kesehatan, lalu dibiarkan
berkeliling markas
dengan mobilnya. "Bapak
mau bernostalgia," ujar
sebuah sumber
menirukan ucapan
Renny. Aksi ini menjadi
tontonan anggota tim
yang
berbulan-bulan
memburunya. Herman
akhirnya diizinkan
dirawat di Rumah
Sakit Mitra Kemayoran.
l l l
KASUS Herman bermula
dari sebidang tanah di
Jalan Buncit Raya 301,
Mampang, Jakarta
Selatan. Menurut Meike
Wirdiati, pengacara dari
kantor O.C. Kaligis,
tanah itu awalnya dibeli
Herman dari Ngudi
Gunawan
—pengusaha pendiri PT
Indo Hero, pada 1966,
seharga Rp 2 juta dengan
status girik. Saat itu
Herman masih
berpangkat kolonel dan
menjabat
Komandan Brigade
Kosatgas Markas Besar
Angkatan Darat.
Kolonel Herman tak
sendiri. Ia diperintah
pejabat Presiden
Soeharto
untuk menyiapkan
penampungan 100 kuda
yang dibeli dari Pakistan
untuk
pasukan kavaleri
tentara. Bersama kawan-
kawannya, Herman
mendirikan
Djakarta International
Saddle Club, yang sempat
diresmikan Presiden
Soeharto.
Tiga tahun kemudian,
Wakil Panglima ABRI
Jenderal Soemitro
menugasi
Herman mencari tanah
untuk pusat olahraga.
Herman kala itu
menawarkan
tanah miliknya. Maka
Departemen Pertahanan
dan Keamanan membeli
sebagian tanah Herman
seluas satu hektare dan
dibangun sport center.
Sisanya, yang dua
hektare, masih milik
Herman. Lahan dua
hektare itu
lalu dibuatkan sertifikat
atas nama Herman dan
lima anggota
keluarganya.
Departemen Hankam
bermaksud membeli dua
hektare tanah sisanya
pada
1975. Herman sempat
menyerahkan kopi
sertifikat tanah yang
ditawarkan.
Namun transaksi batal,
bahkan malapetaka
muncul. "Sekelompok
petinggi
militer
mempermasalahkan
tanah tersebut," ujar
Thomas Abbon,
pengacara
Herman. Sejak itu, tanah
berstatus sengketa.
Buntutnya, Herman
dicegah
pergi ke luar negeri
selama lima tahun pada
1993.
Dua tahun kemudian
terbit surat perintah
penahanan dari Kepala
Staf
Umum ABRI saat itu,
Letnan Jenderal Suyono.
Herman dituduh
melakukan
tindak pidana
penyalahgunaan
kewenangan, seperti
diatur Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun
1971, jo Pasal 415 Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana. "Perbuatan itu
dilakukan Herman saat
menjabat Komandan
Korps
Markas Pertahanan dan
Keamanan," ujar Kepala
Pusat Penerangan TNI
Marsekal Muda Sagom
Tamboen. Menurut
Sagom, sebagai pejabat
yang duduk
di posisi itu, seharusnya
Herman mengamankan
dan mengurus surat-
surat
tanah atas nama
institusi. Tapi ini
sertifikat dibuat atas
nama
keluarganya dan
sopirnya.
Tentara mulai bergerak.
Pada Desember 1995,
Herman diminta
menyerahkan
enam sertifikat lahan di
Jalan Warung Buncit,
Jakarta Selatan, itu.
Herman menyerahkan
sertifikat-sertifikat itu
setelah Mayor Jenderal
Syamsu Djalal, Komandan
Pusat Polisi Militer saat
itu, mendatanginya.
"Tanah itu dirampas,"
ujar Herman saat
ditemui di Rumah Sakit
Mitra
Kemayoran.
Syamsu Djalal
membenarkan
penyerahan sertifikat
itu. Namun ia
membantah kalau
dibilang melakukan
tekanan. "Waktu itu
Herman
menyerahkan dengan
baik-baik," ujar mantan
Jaksa Agung Muda
Intelijen
ini kepada Tempo.
Pengambilan itu atas
perintah Panglima ABRI
Jenderal
Feisal Tanjung, yang
menilai lahan itu milik
Departemen Pertahanan
Keamanan.
Penyerahan sertifikat itu
diikuti dengan
pembuatan akta yang
mengatur
penyerahan dan
pelepasan hak. Bukti
inilah yang kemudian
digunakan TNI
untuk mengajukan
sertifikat hak pakai
kepada Badan
Pertanahan atas
nama Departemen
Pertahanan. Sertifikat
hak pakai itu terbit pada
2003.
Herman tak tinggal
diam. Pada Agustus 2007,
melalui kantor
pengacara
O.C. Kaligis, dia
mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha
Negara
Jakarta. Mereka
menggugat Kepala
Kantor Wilayah Badan
Pertanahan
Nasional DKI dan Kepala
Kantor Pertanahan Kota
Madya Jakarta Selatan
selaku penerbit sertifikat
hak pakai.
Pengadilan menolak
gugatan mereka.
Alasannya, menurut
Meike Wirdiati,
pengadilan tidak berhak
memeriksa perkara itu,
sebelum dibuktikan
kepemilikan lahan yang
sah lebih dulu. "Itu harus
melalui peradilan
umum," katanya. Selain
itu, BPN selaku tergugat
dianggap memiliki
dasar menerbitkan
sertifikat hak pakai
kepada Departemen
Hankam.
Dasarnya: Akta
Penyerahan dan
Pelepasan Hak dan Akta
Persetujuan
Bersama dari Herman
Sarens kepada Sumantri
Dipraja, Komandan
Detasemen
Markas, Markas Besar
TNI.
Kendati telah
menyerahkan enam
sertifikat, proses pidana
terhadap
Herman tetap
diteruskan. Pada 17 April
1997, Oditur Mahkamah
Militer
Tinggi mulai
menyidangkan
perkaranya. Namun
oditur tak pernah
berhasil
menghadirkan Herman.
Kasusnya kembali
mencuat pada awal 2009.
Mahkamah Militer Tinggi
mulai
menyidangkan kembali
kasusnya. Menurut
Marsekal Muda Sagom
Tamboen,
surat panggilan telah
dilayangkan tiga kali,
pada akhir Januari,
Februari, dan Maret.
Namun dia tak pernah
datang tanpa alasan
yang
jelas, sampai akhirnya
dilakukan pemanggilan
paksa. Menurut Renny,
kasus itu mencuat
kembali karena pihaknya
mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Bisakah Herman
dipidanakan? Pakar
hukum pidana Andi
Hamzah menilai,
kalau tuduhannya tindak
pidana penyalahgunaan
wewenang, atau korupsi,
masa berlakunya hingga
18 tahun. Jika perbuatan
Herman dilakukan saat
menjabat Komandan
Korps Markas Hankam
pada 1970/1971, kasusnya
dianggap kedaluwarsa.
Dia hanya bisa dituntut
melalui gugatan perdata
terhadap sertifikat
kepemilikan tanahnya.
Ramidi, Joniansyah, Ayu
Cipta, Yandi Rofiandi
http://
majalah.tempointeraktif.
com/id/arsip/2010