Ihwal Kriminalisasi
Kebijakan
Rabu, 27 Januari 2010 |
02:54 WIB
Oleh Hikmahanto Juwana
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono atau SBY
dalam wawancara khusus
dengan Harian Kompas,
SCTV, dan Radio Elshinta,
Minggu (24/1) malam,
menyampaikan agar
langkah pemerintah dan
Bank Indonesia
mengucurkan
dana talangan ke Bank
Century tidak
dikriminalisasi.
Sejumlah anggota DPR,
pakar, dan penggiat
antikorupsi tidak setuju
dengan pendapat
Presiden. Kebijakan
(policy) berbeda dengan
kebijaksanaan meski
keduanya terkait dengan
pengambilan keputusan.
Kebijakan merupakan
basis untuk pengambilan
keputusan, sedangkan
kebijaksanaan
merupakan keputusan
yang bersumber dari
diskresi yang
dimiliki pejabat yang
berwenang.
Dalam konteks
kenegaraan, kebijakan
dapat bersifat umum
ataupun
khusus. Kebijakan yang
bersifat umum, antara
lain, kebijakan luar
negeri, kebijakan
pertahanan, kebijakan
fiskal, dan kebijakan
pemberantasan korupsi.
Kebijakan yang bersifat
khusus, antara lain,
kebijakan rekonstruksi
pascatsunami,
penyaluran subsidi
kepada orang
yang berhak, dan
kebijakan ujian nasional.
Sementara
kebijaksanaan secara
sederhana dapat
dicontohkan sebagai
polisi yang mengarahkan
lalu lintas untuk berjalan
melawan arus yang
seharusnya. Tujuannya
adalah untuk
mengurangi kemacetan.
Apa yang
dilakukan oleh polisi
tersebut tentu
melanggar hukum.
Namun, atas
dasar diskresi yang
dimiliki, polisi sebagai
pejabat yang berwenang
diperbolehkan untuk
membuat kebijaksanaan
yang melanggar aturan
demi
kemaslahatan yang
besar.
Bila dicermati dalam
penalangan Bank
Century oleh Komite
Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK),
keputusan yang diambil
lebih tepat bila
dikategorikan sebagai
suatu kebijakan daripada
kebijaksanaan.
Sebagaimana
disampaikan oleh
Presiden, keputusan
penalangan merupakan
kebijakan untuk
menyelamatkan dunia
perbankan dan
perekonomian
nasional dari krisis.
Benar atau salah
Kebijakan yang menjadi
basis dari sejumlah
keputusan di sektor
publik
diambil karena
kewenangan yang
dimiliki oleh seseorang
yang memegang
jabatan berdasarkan
peraturan perundang-
undangan. Presiden,
menteri,
gubernur, bupati, camat
hingga ketua rukun
tetangga dalam hal dan
situasi tertentu
berwenang dan
diharuskan mengambil
kebijakan yang
disertai dengan
keputusan.
Pascapengambilan
kebijakan dan
keputusan, maka
evaluasi pun dapat
dilakukan. Evaluasi dapat
dilakukan oleh atasan
langsung, DPR terhadap
pemerintah seperti
dalam penalangan Bank
Century, bahkan oleh
pers dan
publik. Bila evaluasi atas
kebijakan dan keputusan
dilakukan, agar
fair, tentunya harus
berdasar situasi dan
kondisi ketika kebijakan
serta keputusan tersebut
diambil. Bila kebijakan
serta keputusan masa
lalu dievaluasi dengan
kacamata hari ini, maka
bisa jadi apa yang
telah diambil akan salah
semua.
Di sini, pentingnya
Pansus DPR tentang Hak
Angket Bank Century
memperoleh data, fakta,
dan informasi dari
berbagai pihak yang
terlibat untuk dapat
merekonstruksi situasi
dan kondisi ketika
kebijakan serta
keputusan diambil.
Hasil evaluasi atas
kebijakan dan keputusan
secara garis besar dapat
dibagi dalam dua
kategori. Benar atau
salah. Menjadi
pertanyaan apakah
hasil evaluasi yang
menyatakan suatu
kebijakan berikut
keputusan salah
dapat mengakibatkan
pengambil kebijakan
terkena sanksi pidana?
Jawaban
atas hal ini membawa
kontroversi.
Sanksi pidana?
Dalam ilmu hukum, bila
berbicara tentang
kebijakan, keputusan
berikut
para pelakunya, maka
akan masuk dalam ranah
hukum administrasi
negara.
Hukum administrasi
negara tentu harus
dibedakan dengan
hukum pidana
yang mengatur sanksi
pidana atas perbuatan
jahat.
Bila kebijakan serta
keputusan dianggap
salah dan pelakunya
dapat
dipidana, maka ini
berarti kesalahan dari
pengambil kebijakan
serta
keputusan merupakan
suatu perbuatan jahat
(tindak pidana). Ini tentu
tidak benar.
Pada prinsipnya
kesalahan dalam
pengambilan kebijakan
atau keputusan
tidak dapat dipidana.
Dalam hukum
administrasi negara
tidak dikenal
sanksi pidana. Sanksi
yang dikenal dalam
hukum administrasi
negara,
antara lain, teguran baik
lisan maupun tertulis,
penurunan pangkat,
demosi dan pembebasan
dari jabatan, bahkan
diberhentikan dengan
tidak
hormat dari jabatan.
Meski demikian,
terhadap prinsip umum
bahwa kebijakan serta
keputusan
yang salah tidak dapat
dikenai sanksi pidana,
terdapat pengecualian.
Paling tidak ada tiga
pengecualian.
Pertama, adalah
kebijakan serta
keputusan dari pejabat
yang
bermotifkan melakukan
kejahatan internasional
atau dalam konteks
Indonesia diistilahkan
sebagai pelanggaran hak
asasi manusia berat.
Dalam doktrin hukum
internasional yang telah
diadopsi dalam
peraturan
perundang-undangan di
sejumlah negara,
kebijakan pemerintah
yang
bertujuan melakukan
kejahatan internasional
telah dikriminalisasikan.
Adapun kejahatan
internasional yang
dimaksud ada empat
kategori yaitu
kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida,
kejahatan perang, dan
perang
agresi.
Kedua, meski suatu
anomali, kesalahan
dalam pengambil
kebijakan serta
keputusan secara tegas
ditentukan dalam
peraturan perundang-
undangan.
Sebagai contoh di
Indonesia adalah
ketentuan yang terdapat
dalam Pasal
165 Undang-Undang
Pertambangan Mineral
dan Batubara. Ketentuan
tersebut memungkinkan
pejabat yang
mengeluarkan izin di
bidang
pertambangan dikenai
sanksi pidana.
Ketiga adalah kebijakan
serta keputusan yang
bersifat koruptif atau
pengambil kebijakan
dalam mengambil
kebijakan serta
keputusan
bermotifkan kejahatan.
Di sini yang dianggap
sebagai perbuatan jahat
bukanlah kebijakannya,
melainkan niat jahat
(evil intent/mens rea)
dari pengambil kebijakan
serta keputusan ketika
membuat kebijakan.
Contohnya adalah
pejabat yang membuat
kebijakan serta
keputusan untuk
menyuap pejabat publik
lainnya. Atau kebijakan
yang diambil oleh
pejabat karena ada motif
untuk memperkaya diri
sendiri atau orang
lain.
Dalam contoh terakhir
inilah, sejumlah anggota
Pansus Bank Century
berpijak. Tindakan ini
dapat dipahami karena
mereka hendak
memvalidasi
kecurigaan publik bahwa
kebijakan yang diambil
berindikasi koruptif
atau memperkaya orang
lain, termasuk partai
politik tertentu.
Namun, apabila indikasi
ke arah tersebut tidak
ada, jangan kemudian
kebijakan serta
keputusan yang dianggap
salah pascadievaluasi
dipaksakan untuk
dikenai sanksi pidana.
Apabila ada pemaksaan,
tentu
akan menyulitkan aparat
penegak hukum dalam
ranah hukum pidana.
Pada
akhirnya kasus Chandra
dan Bibit akan terulang
kembali.
Hikmahanto Juwana Guru
Besar Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas
Indonesia
http://
cetak.kompas.com/read/
xml/2010/01/27/02542773/
ihwal.kriminalisasi.
kebijakan