Menuntaskan Skandal Bank Century
Thursday, 03 December 2009
Skandal Bank Century telah memasuki babak
baru, terutama setelah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menyelesaikan
audit investigasinya.
Laporan audit itu bisa menjadi petunjuk untuk
menyelesaikan kasus
Century dalam ranah hukum karena di
dalamnya terdapat sejumlah
indikasi terjadinya pelanggaran hukum. Sejak
awal pembentukan Bank
Century hingga bank ini diambil alih negara
melalui penyertaan modal
sementara Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), terdapat sejumlah
kejanggalan dan pelanggaran hukum yang
bisa menjadi pintu masuk bagi
penegakan hukum. Akan tetapi laporan BPK
juga perlu dilihat secara
kritis karena ketidakjelasan arah dalam
laporan investigasinya.
BPK terkesan mencampuradukkan antara
audit kepatuhan dengan audit
investigasi. Laporan setebal lebih dari 500
halaman itu tidak semuanya
mengarah pada terjadinya tindak pidana.
Bahkan aliran dana dari Bank
Century setelah di-bailout pemerintah juga
tidak muncul.Padahal
informasi tentang aliran dana itu yang
ditunggu oleh publik dan
diperlukan oleh penegak hukum.
Ini tentu sebuah kemunduran karena
dibandingkan dengan audit
investigatif dalam skandal cessie Bank Bali
yang dilakukan
PricewaterhouseCoopers, kantor akuntan
swasta itu mampu memetakan
aliran dana. Terlepas dari sejumlah
kelemahan dalam laporan audit BPK,
proses penegakan hukum sudah bisa
dimulai. Meskipun tidak terlalu
jelas,sejumlah indikasi tindak pidana dalam
skandal Bank Century harus
segera ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Indikasi Pidana
Skandal Bank Century kini telah keluar dari
ranah ekonomi. Perdebatan
tentang benar tidaknya pengambilalihan Bank
Century di tengah krisis
finansial global sudah tidak relevan lagi karena
skandal ini telah
memasuki ranah hukum dan politik. Apalagi
DPR secara resmi telah
menggunakan hak angket untuk
membongkar skandal Bank Century dengan
tuntas.
Terkait skandal Bank Century, terdapat
sejumlah indikasi terjadinya
tindak pidana. Pertama, BPK menemukan
ternyata BI tidak bertindak
tegas terhadap sejumlah pelanggaran yang
dilakukan Bank Century sejak
2005–2008. Bahkan, menurut BPK, BI
membiarkan Bank Century membiarkan
melakukan rekayasa akuntansi sehingga
seolah-olah masih memenuhi rasio
kecukupan modal (capital adequacy ratio/
CAR).
Fakta ini tentu bisa menjadi pintu masuk bagi
penegakan hukum untuk
mengungkap ada apa di balik ketidaktegasan
BI. Kedua, indikasi tindak
pidana juga terjadi pada saat pengucuran
pemberian fasilitas pendanaan
jangka pendek (FPJP). Skandal Bank Century
sebetulnya bermula ketika
Bank Century kalah kliring dan meminta FPJP
kepada Bank Indonesia.
Akan tetapi aturan BI menyatakan FPJP hanya
bisa diberikan kepada bank
dengan CAR 8%, padahal CAR Century saat
itu tinggal 2,35% sehingga
seharusnya tidak bisa mendapatkan FPJP.
Namun BI kemudian mengubah aturan
dengan menurunkan syarat FPJP untuk
bank dengan CAR positif sehingga akhirnya
Bank Century mendapatkan
FPJP. Laporan audit BPK juga menemukan
fakta lain bahwa pada saat Bank
Century mendapatkan FPJP, CAR telah turun
hingga -3,53% Ketiga, saat
mengambil keputusan untuk mengambil alih
Bank Century,Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agaknya
tidak memperhatikan tindak
pidana “perampokan” oleh pemilik sendiri.
Seharusnya setelah
mendapatkan FPJP, Bank Century sudah
kembali normal dan tidak
membutuhkan suntikan modal lagi.
Dalam laporan BPK terungkap Bank Century
kekurangan modal setelah bank
itu dibobol oleh pemilik sendiri sehingga
sebetulnya bailout
dipergunakan untuk membayar akibat yang
timbul dari sebuah tindak
pidana perbankan. Kasus tindak pidana
perbankan memang sudah dibawa ke
pengadilan oleh kejaksaan.Robert Tantular
telah divonis 4 tahun
penjara dan denda Rp50 miliar.Namun vonis
itu terlalu ringan untuk
sebuah pembobolan bank oleh pemilik
sendiri. Apalagi vonis juga tidak
memerintahkan penyitaan aset terkait Robert
Tantular di luar negeri
sehingga akan menyulitkan pengembalian
kerugian negara.
Kalau saja pengawasan terhadap Bank
Century dilakukan dengan baik,
Bank Century bukan hanya tidak
membutuhkan FPJP, tetapi Century juga
tidak perlu diambil alih oleh negara. Keempat,
dana yang sudah
dikucurkan LPS ternyata tidak hanya
dipergunakan untuk meningkatkan
CAR, tetapi juga dipergunakan untuk
membiayai likuiditas dan kewajiban
kepada pihak ketiga.
Di sini lagi-lagi otoritas keuangan seperti
memberi toleransi kepada
Century sehingga kemudian bailout
membutuhkan dana terus menerus
hingga total mencapai Rp6,7 triliun.Fakta ini
juga menunjukkan kepada
kita semua bagaimana otoritas perbankan
tidak mampu menghitung berapa
sebenarnya kebutuhan modal yang
diperlukan untuk menyehatkan Bank
Century sehingga terus-menerus
membutuhkan injeksi modal dari negara
melalui LPS.
Penegakan Hukum
Dengan sejumlah indikasi tindak pidana yang
tampak dalam laporan audit
BPK,semestinya penegak hukum sudah bisa
mulai bekerja. Namun dalam
kasus Bank Century harus dicermati siapa
yang akan menangani
perkaranya.
Dalam pidatonya pada 23 November 2009
lalu, Presiden meminta Kejaksaan
Agung dan Polri melakukan penegakan
hukum.Pernyataan Presiden harus
ditolak karena Kejaksaan Agung dan Polri
tidak memiliki cukup
kredibilitas dan independensi guna mengusut
skandal Bank Century.
Untuk menyelesaikan skandal Bank Century,
KPK yang harus didorong
untuk segera melakukan proses hukum. KPK
sebagai lembaga independen
dan mendapatkan kepercayaan publik bisa
memberikan harapan bahwa kasus
ini akan dituntaskan dengan baik.Memang
tidak semua tindak pidana
mengarah pada korupsi,tetapi kita bisa
mendorong KPK untuk
mengoordinasi proses penegakan hukum.
Kasus korupsi ditangani KPK, sementara
tindak pidana perbankan
ditangani kejaksaan, tetapi tetap di bawah
supervisi KPK. Terkait
dengan aliran dana yang sangat diperlukan
untuk penegakan hukum, KPK
bisa langsung meminta Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Bila dalam kasus skandal BI yang
dilaporkan Agus Condro PPATK
dengan sukarela memberikan informasi
kepada KPK, seharusnya dalam
skandal Bank Century PPATK tidak ada
hambatan untuk bekerja sama
dengan KPK. Walaupun demikian,harus
disadari skandal ini bukan tindak
pidana biasa.
Bisa jadi PPATK dan BPK memiliki konflik
kepentingan sehingga tampak
lamban ketika memberikan
laporan.Karenanya, perlu bagi KPK meminta
firma akunting internasional yang independen
seperti
PricewaterhouseCoopers untuk melakukan
audit investigatif seperti yang
pernah mereka lakukan dulu pada skandal
cessie Bank Bali.(*)
J Danang Widoyoko
Koordinator Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (ICW)