x

Selasa, 06 April 2010

'Tiga Kekalahan'

Kalah
oleh
Oryza A Wirawan.
'Kekalahan'
mengingatkan saya pada
adegan ini: Seorang pria
berambut gondrong
berbadan tegap dibawa
ke sebuah panggung.
Pakaiannya acak-acakan.
Tangannya terikat.
Lehernya dibebat tali
besar, ditarik oleh
beberapa serdadu. Ia
berjalan di setapak yang
terbentuk oleh
kerumunan manusia,
yang segera saja
melemparinya dengan
buah-buahan busuk.
Di atas panggung,
seorang berpakaian
merah, dia seorang
inkuisitor yang ditemani
seorang algojo bertopeng
dan bertubuh besar yang
menantinya. Di atas
sebuah meja, telah
tertata rapi berbagai
model pisau dan alat
penyiksa. Sang Inkuisitor
tersenyum sinis.
"Jika kau mau meminta
maaf dan mencium
emblem di bajuku ini,
maka kau akan dihukum
mati dengan cepat,"
suara Sang Inkuisitor
dingin, penuh ancaman.
Pria berambut gondrong
itu diam. Tangan dan
kakinya yang diikat ke
empat penjuru mata
angin ditarik oleh kuda
hingga otot-otot dan
tulangnya merenggang.
Ia kesakitan, tapi tak
mengaduh.
Siksaan berjalan terus di
tengah teriakan ngeri
orang banyak yang
menyaksikan. Namun pria
itu masih diam, sampai
suatu titik Sang Inkuisitor
menyuruh semua yang
ada di lapangan itu untuk
diam, karena si pria
bertubuh tegap hendak
mengeluarkan sepatah
kata.
Dengan kerongkongan
yang sakit dan lidah yang
terasa kelu, si pria susah
payah berteriak:
FREEDOM! Merdeka.
Pria itu William Wallace,
pejuang legendaris
Skotlandia abad
pertengahan yang
melawan penjajahan
Monarki Inggris. Dalam
film Braveheart, William
tak pernah termotivasi
untuk berperang. Ia
hanya ingin hidup tenang
bersama istrinya, di
sepetak lahan di tengah
pegunungan Skotlandia
yang hijau.
Namun betapa hebatnya
hidup mentransformasi
sebuah mimpi. Ketika
prajurit Inggris
membunuh calon istrinya
dan merusak desanya,
tahulah William: ia
ditakdirkan untuk
melawan. Hidup tidak
seindah surga, dan
keadilan tidak turun
begitu saja dari langit.
Dan, ia melawan,
sebenar-benarnya
melawan. Hidup mulia
atau mati sebagai syahid.
Pada akhirnya, William
memang mati. Tubuhnya
dimutilasi, dan dikirimkan
ke empat penjuru mata
angin sebagai peringatan
kepada rakyat Skot untuk
tidak memberontak.
Kerajaan Inggris
menyatakan William
telah dikalahkan. Tapi
benarkah ia telah
ditaklukkan? Kita semua
terbiasa mengasosiasikan
'mengalahkan' dengan
'menaklukkan'.
Kekalahan kita anggap
sebagai ketundukan
terhadap yang menang.
Yang menang merampas
semuanya, termasuk
kepatuhan dari yang
dikalahkan. Dalam hal ini,
menang dan kalah kita
garis dalam dua warna,
hitam dan putih. Tidak
ada elan hidup yang
menghargai 'kekalahan'
sebagai bagian dari
perjuangan panjang
terhadap sesuatu yang
diyakini sebagai
kebenaran.
Tak heran, jika kita
sering salah baca,
menganggap sebuah
proses berhenti pada
'kemenangan' dan
'kekalahan'. Kita terbiasa
menghargai manusia dari
pencapaian akhir
'menang' atau 'kalah'.
'Menang' kita sanjung,
'kalah' kita tendang: tak
ada urusan apakah
kemenangan itu dicapai
dengan cara-cara kotor
yang melukai semangat
perjuangan itu sendiri.
William memang
dikalahkan. 'Yang lemah'
akan selalu merasa
terteror saat merasa
kalah. Namun, William
tidak lemah dan tak bisa
dilemahkan. Ia keras
kepala. Setidaknya ketika
ia memekik 'merdeka',
orang tahu bahwa Sang
Inkuisitor gagal
menciptakan rasa takut.
Saya merasa ada epos
dalam kekalahan William.
Mungkin juga sesuatu
yang agung. Saya tidak
tahu, apakah epos seperti
itu juga ada dalam diri
Indra Jaya Piliang, saat
menulis biografi
politiknya sebagai politisi
Golkar dan kepala sub
judul 'Tiga Kekalahan'.
Yang terang, dari Indra,
saya semakin tahu bahwa
apa yang dikatakan
Goenawan Mohamad
benar: politik adalah
tugas sedih.
Memasuki dunia politik
praktis bagi Indra berarti
melintasi demarkasi tabu
tak kasat mata. Di negeri
ini, kaum intelektual-
akademisi diperhadapkan
vis a vis dengan para
politisi praktis. Dengan
pola oposisi biner
strukturalisme, mudah
ditebak, yang pertama
mewakili kepentingan
dan suara yang lebih suci,
ketimbang yang kedua.
Idealisme versus
pragmatisme, prinsip
melawan dagang sapi.
Saya tidak tahu
bagaimana asal-muasal
dikotomi ini. Barangkali
para cerdik-pandai di
negeri ini mengimani
diktum klasik Julien
Benda: bahwa kaum
cendekia tak hendak
mengkhianati prinsip-
prinsip kebenaran untuk
kekuasaan.
Saya merasa ada yang
salah dengan negeri ini.
Kita terlanjur basah
menganggap dalam
politik tak ada
kebenaran, hanya
kepentingan yang profan.
Kita sudah zakelijk
menganggap tak ada
yang 'etis' dalam politik
praktis. Maka kita
mengharamkan dan
mencibiri orang-orang
cerdik-pandai yang
semula berumah di atas
awan namun memilih
memasuki dunia politik
kekuasaan.
Ini sebenarnya sebuah
keyakinan yang ganjil di
negeri tempat
dicecokkannya doktrin
moral sejak sekolah
dasar. Bagaimana bisa
kita bersikap ambigu: di
satu sisi mengomel
karena gedung parlemen
tak ubahnya taman
kanak-kanak, dan diisi
orang-orang yang tak
beretika, namun di sisi
yang lain kita mencibir
kaum cerdik-pandai yang
selama ini bergumul
dengan sesuatu yang etis
masuk ke wilayah ini.
Bagaimana hendak
mengharapkan
perubahan: saat di satu
titik kita enggan
menempuh jalan pintas
revolusi (menghabisi
generasi tua yang sudah
kadung menanamkan
oligarki), namun
sekaligus menampik jalur
lamban dengan
membiarkan kaum
intelektual non partisan
masuk ke dunia politik,
untuk menggantikan
kaum tua yang sulit
berubah.
"Mentalitas
ketertundukan publik
terhadap pemerintah
sekaligus alergi terhadap
politisi adalah bagian dari
kelanjutan mentalitas
kolonial. Soekarno,
Hatta, Syahrir dan politisi
quo intelektual pada
zamannya juga dianggap
benalu bagi
pemerintahan kolonial.
Padahal kita tahu
kemudian bahwa jalan
politiklah yang
membebaskan Indonesia
dari belenggu
penjajahan," tulis Indra.
Maka, orang-orang
seperti Indra atau
Budiman Sudjatmiko
(aktivis gerakan
mahasiswa kiri yang
menjadi politisi PDI
Perjuangan), pada titik
ini menempuh jalan
pedang yang sunyi dalam
hidup mereka. "Politics is
a war without
bloodshed," kata Mao Tse
Tung. Tidak ada darah
yang tumpah dalam
politik. Namun, ini jalan
perang di mana para
pendekar berjalan dalam
kesendirian, seperti
dalam novel-novel silat
klasik. "Tidak ada yang
benar-benar mengajak
saya berkawan dalam
kehidupan politik praktis
ini," tulis Indra.
Menyedihkan memang,
saat seribu kawan pergi
karena pilihan-pilihan
bebas kita. Ini seperti
membenarkan apa yang
didalilkan Sartre, bahwa
kita dikutuk untuk bebas,
dan oleh karenanya kita
harus menanggung
sendiri ongkos kebebasan
itu.
Dalam adu balap
kekuasaan, konsep
perkawanan berubah
menjadi 'persekutuan',
'aliansi' untuk
membangun sebuah
angkatan perang. Tak
ada kasih sayang dalam
sebuah persekutuan.
Dalam politik, jika Anda
tak bisa dicintai dan
ditakuti sekaligus, kata
Niccolo Machiavelli,
"lebih baik untuk memilih
ditakuti".
"Orang tidak begitu
merasa takut berbuat
jahat terhadap seseorang
yang membuat dirinya
dicintai daripada
terhadap orang yang
membuat dirinya
dibenci...Manusia
makhluk yang lemah; ia
akan memutuskan ikatan
cinta, kalau itu
menguntungkannya; tapi
rasa takut diperkuat oleh
kengerian akan hukuman
yang selalu efektif,"
demikian risalah
Machiavelli dalam Il
Principe, sebuah buku
kecil yang bicara tentang
kekuasaan dan politik.
Boleh jadi Machiavelli
tepat. Ia bicara soal
naluri manusia, seperti
puisi Sapardi Djoko
Darmono: "Dalam setiap
diri kita, berjaga-jagalah/
segerombolan serigala."
Tapi Machiavelli tak
selamanya benar.
Manusia adalah makhluk
berwarna dan tak
semuanya harus
mengenai kekuasaan dan
penguasaan. Habermas
bicara soal tindak
komunikatif, di mana
manusia tidak bisa
dipaksa untuk tunduk.
Dari ruang komunikatif
ini, muncul apa yang
disebut penghormatan.
Suatu kala, dalam upaya
memenangkan pemilihan
umum di Daerah
Pemilihan Sumatra Barat
2, Indra mengirimkan
surat ke empat penjuru
mata angin untuk 226
wali nagari.
Mengherankan
sebenarnya, kenapa Indra
repot-repot mengirimkan
surat di zaman modern
ini, jika bisa menelpon.
Namun dalam surat ada
rasa hormat terhadap
posisi manusia, sebuah
penghargaan dan tak
memandang manusia
dalam bingkai nalar
instrumental.
Indra menampik
menggunakan para
makelar politik. Ia
menolak untuk membeli
kesetiaan pemilih dalam
pemilu. Ia memilih untuk
berpihak pada seorang
calon presiden yang
dicintai karena
kejenakaan dan
kecekatannya, bukan
ditakuti karena
kekuasaannya. Ia juga
menolak menarik diri dari
gelanggang Musyawarah
Nasional PG, dan tetap
keras kepala mendukung
seorang kandidat yang
mustahil menang, karena
mereka adalah generasi
pelintas batas politik:
sesuatu yang penting
dalam proses ke-
Indonesiaan.
Namun Indra juga
menolak bergeser dari
tanggungjawab etisnya.
Ketika Yuddy Chrisnandy,
kawan yang didukungnya
dalam Munas Golkar,
melakukan pendekatan
dengan Tommy Suharto,
anak kesayangan mantan
Presiden Suharto, ia
menampik ikut. Ia tak
ingin mengecewakan
kawan-kawan
segenerasinya. Ia tak
ingin kehilangan kawan-
kawan lagi.
Entahlah. Mungkin
karena itu semua Indra
akhirnya kalah. Namun
setidaknya kekalahan itu
tetap menjadikannya
manusia yang menapak
tanah. Jika politik adalah
sebuah perang panjang
kehidupan, ia telah
terkapar di tiga medan
tempur. Namun saya kira
ia tak layu. Setidaknya, ia
tak lemah dan telah
sebenar-benarnya
melawan demi prinsip-
prinsip hidupnya. Saya
kira itu yang terpenting.
(*)
Jember, 21 Januari 2010
Oryza A. Wirawan
Wartawan
www.beritajatim.com.
(Dari buku Indra Jaya
Piliang, 2010, Mengalir
Meniti Ombak: Memoar
Kritis Tiga Kekalahan,
Yogyakarta: Penerbit
Ombak, halaman 541-546).
http://
www.indrapiliang.com/
2010/04/05/oryza-a-
wirawan-kalah/