x

Rabu, 03 Februari 2010

Korupsi

Korupsi Demokrasi
Selasa, 2 Februari 2010 |
03:01 WIB
Pada mulanya adalah
biaya demokrasi yang
mahal. Politisi dan partai
politik dalam struktur
negara ”demokrasi
patrimonial” menjadikan
kekuasaan sebagai ajang
pungutan dan
pengurasan. Apalagi jika
mentalitas pemimpinnya
dihinggapi ”Cinderella
Complex” yang terobsesi
meniru fashion negara-
negara maju. Maka,
korupsi politik pun
merajalela.
Pemikiran konvensional
cenderung meyakini
bahwa satu-satunya jalan
menuju pencapaian
stabilitas demokrasi
adalah melalui pemilihan
langsung. Padahal, dalam
banyak kasus di negara
berkembang, pemilihan
(langsung) bisa
mengarah pada
peperangan dan
kemiskinan. Humphrey
Hawksley dalam
Democracy Kills
memperlihatkan potret
yang mengerikan
dari demokrasi elektoral
yang dijalankan secara
tidak tepat. ”Dari
Pakistan hingga
Zimbabwe, dari teritorial
Palestina hingga bekas
Yugoslavia, dari Georgia
hingga Haiti,
pelaksanaan pemilu
telah
melambungkan tingkat
korupsi dan kekerasan.”
Dengan demokrasi yang
salah urus terdapat
indikasi bahwa penduduk
di
bawah sistem demokrasi
elektoral lebih berisiko
tetap miskin atau
terbunuh ketimbang di
bawah sistem
kediktatoran.
Umpamanya, pendapatan
rata-rata di negara
otoritarian China adalah
dua kali lipat dari
negara demokrasi India;
harapan hidup dari
warga negara
demokratis
Haiti hanya mencapai 57
tahun dibandingkan
dengan mereka yang
hidup di
bawah kediktatoran
Kuba yang mencapai 77
tahun.
Dengan fenomena itu,
Presiden AS Barack
Obama dalam pidatonya
di
Universitas Kairo
memperlihatkan kehati-
hatiannya soal demokrasi
elektoral serta
empatinya terhadap
budaya lain. Ia
menekankan, tidak
ada sistem pemerintahan
yang dapat dipaksakan
oleh suatu bangsa
kepada
yang lain.
Tak lama berselang,
pemimpin konservatif
Inggris, David Cameron,
menyatakan, ”Demokrasi
semestinya merupakan
pekerjaan dari perajin
yang sabar, bukan
sebagai produksi massal
yang seragam, jika
produk
akhir yang dikehendaki
adalah kualitas yang
tahan lama.” Demokrasi
yang dijalankan secara
tidak hati-hati dan tidak
disesuaikan dengan
kondisi sosial-budaya
suatu bangsa bisa
menyebabkan kematian
banyak
orang serta gagal
memberikan martabat
dan pemerintahan yang
baik.
Perkembangan
demokrasi Indonesia
memperlihatkan belokan
menuju jalan
kesesatan. Pemilihan
legislator dan presiden
bisa dikatakan pemilu
terlama dan termahal di
muka bumi. Pelaksanaan
pilkada berlangsung
hampir setiap pekan
yang, karena mahalnya
pembiayaan, membuat
beberapa
kabupaten/kota
terancam defisit
anggaran.
Ketika uang menjadi
bahasa politik,
sementara mayoritas
rakyat hidup
dalam kemiskinan atau
dalam keserakahan
orang kaya baru,
keampuhan
demokrasi elektoral
lekas ambruk. Suara bisa
dibeli dan dimanipulasi.
Idealisme pemilih
dirobohkan, otoritas
Komisi Pemilihan Umum
dihancurkan. Ketika
nilai-nilai idealisme
kewargaan tidak
memiliki
saluran efektif, nilai-nilai
kepentingan investor
mendikte kebijakan
politik.
Sinergi antara
kepentingan investor dan
penguasa ”kejar
setoran” yang
menjadi pintu masuk
bagi korupsi politik pada
akhirnya harus dibayar
mahal oleh pelemahan
institusi penegak hukum.
Institusi ini bukan saja
mewarisi penyakit lama
sebagai mafia hukum,
tetapi dalam
perkembangan
terakhir dilemahkan oleh
otoritas politik untuk
menutupi korupsi
politik.
Pelemahan eksternal
mengemuka dalam
bentuk pertikaian
antarlembaga
penegak hukum;
pelemahan internal
merebak akibat konflik
antarkubu
pada lembaga masing-
masing. Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) tak
punya kepercayaan diri
lagi untuk menggarap
megakorupsi dengan
bobot
politik yang tinggi,
kepolisian mengalami
perpecahan internal, dan
kejaksaan menjadi
pesakitan karena jaksa-
jaksanya terjerat
makelar
kasus.
Melambungnya ongkos
kekuasaan dalam kondisi
kerapuhan institusi
demokrasi dan
nomokrasi (negara
hukum) juga
memudahkan penetrasi
kepentingan asing.
Dengan aparatur negara
yang mudah dibeli,
produk
perundang-undangan
disusupi, penunjukan
pejabat diintersepsi,
pilihan-
pilihan kebijakan yang
menyangkut
perekonomian dan
kekayaan alam pun
dipengaruhi. Akibatnya,
kedaulatan dan
ketahanan ekonomi
nasional
lumpuh. Benar kata
Machiavelli, salah satu
penyebab korupsi
merajalela
karena penguasa
diperbudak negeri lain
hingga negara tak
mampu membuat
aturan secara leluasa
untuk mengelola
urusannya sendiri.
Demokrasi elektoral
lewat jalan pintas gebyar
pencitraan, tanpa
komitmen pada prinsip-
prinsip efisiensi,
rasionalitas kebijakan
dalam
realitas sosial-budaya,
penegakan hukum dan
keadilan, ibarat
membangun
istana pasir. Kelihatan
indah penuh puja-puji,
tetapi mudah ambruk
diterjang gelombang
tekanan hidup.
Kasus yang menyita
perhatian publik dalam
100 hari Kabinet
Indonesia
Bersatu II menjadi
ukuran tentang suasana
kegawatan demokrasi
Indonesia. Krisis
kenegaraan membayang
dalam isu kriminalisasi
dan
pelemahan KPK,
megaskandal Bank
Century, tingginya angka
kemiskinan
dan pengangguran, serta
rendahnya daya saing di
tengah ancaman
perdagangan bebas. Di
sisi lain, otoritas negara
sibuk dengan program
pencitraan dan narsisme
elitis: mulai dari mobil
mewah dan kenaikan
gaji pejabat, pesawat
kepresidenan, pagar
istana, hingga
peluncuran
album.
Inilah masa ketika
demokrasi
dipertaruhkan.
Kegagalan
kepemimpinan
nasional untuk
memperbaiki kinerja
demokrasi dapat
mengarah pada
proses delegitimasi
demokrasi, termasuk
delegitimasi
kepemimpinan
nasional yang dipilih
melalui prosedur
demokrasi. Inilah ujian
sejarah, apakah kita
bergerak maju atau
surut ke belakang!
Yudi Latif Pemikir
Kenegaraan dan
Keagamaan
http://
cetak.kompas.com/