x

Jumat, 05 Februari 2010

Kepepet + isme ?

CHINA-ASEAN Free Trade
Agreement (CAFTA)
sudah sekitar lima tahun
lalu
disepakati, bahkan
ditandatangani bersama
oleh negaranegara
ASEAN
dengan Republik Rakyat
China, tetapi baru mulai
1 Januari 2010
dilaksanakan.
Semula negara dan
bangsa Indonesia adem
ayemtenteram belaka
seolah
tidak ada masalah.Tidak
banyak yang sadar
bahwa ada masalah dari
perjanjian perdagangan
bebas yang menghapus
segenap rambu dan
kubukubu
yang melindungi pasar
dalam negeri, terutama
negara lemah ekspor
yang
menandatangani CAFTA.
Mereka yang sadar
bahwa ada
masalahpunbersikaptena
ng-tenang belaka
akibat terbiasa
berperilaku
kepepetisme, yakni baru
mulai berikhtiar
apabila telanjur masuk
ke kondisi
kepepet.Mungkin itu
akibat secara
naluriah bangsa
Indonesia sudah yakin
akan kesaktian
kepepetisme, yang
telah berulang kali teruji
dan terbukti oleh sejarah
sesuai dengan
yang tersurat dan
tersirat pada kisah-kisah
mitologi Nusantara.
Kisah-kisah itu antara
lain
kesaktimandragunaan
Sangkuriang yang
kepepet menggarap
perahu dalam satu
malam, Bambang
Soemantri (atas
bantuan Sukrasana)
kepepet
memindahTaman
Sriwedari dalam satu
malam
atau Bandung Bondowoso
kepepet membangun
Candi Sewu dalam satu
malam.
Maka setelah 1 Januari
2010 tiba dan
kesepakatan
perdagangan bebas
antara China dan ASEAN
mulai dijabarkan ke
kenyataan, mendadak
Menteri
Perdagangan Dr Mari
Elka Pangestu dituduh
kurang mengantisipasi
perjanjian yang sudah
lama ditandatangani
bersama itu. Mendadak
semua
khawatir CAFTA
potensial semakin
meleluasakan produk
RRC yang sudah
leluasa menyerbu pasar
dalam negeri Indonesia.
Mendadak patriotisme
melindungi kepentingan
pasar dalam negeri
Indonesia menyala
berkobar-kobar.
Semangat menyalahkan
Menteri
Perdagangan begitu
menggebu sampai ada
yang tega menuntut agar
peran
negosiator perdagangan
antara China dan
Indonesia diambil alih
oleh
Menteri Perindustrian
MS Hidayat! Terkesan
ada kecurigaan Dr Mari
Elka
Pangestu yang kebetulan
keturunan China itu akan
berpihak ke tanah
leluhurnya ketimbang
tanah airnya.
Kecurigaan yang
memang tidak berani
terlalu eksplisit
ditampilkan di
masa paham diskriminasi
ras sudah resmi dibasmi
habis oleh
undangundang (UU)
berkat perjuangan Gus
Dur menjunjung tinggi
pluralisme dan
melindungi minoritas.
Meski Mas Hidayat
sahabat saya
yang saya kagumi, kali
ini saya berpihak ke
Mbak Mari agar diberi
kesempatan menunaikan
tugas sebagai negosiator
CAFTA sampai tuntas.
Saya berani menjamin
nasionalisme, bahkan
patriotisme Dr Mari
Pangestu
yang dilahirkan di bumi
Nusantara. Dia pasti
secara profesional akan
berjuang sampai titik
darah penghabisan
membela kepentingan
Tanah Air
tercintanya yang hanya
satu dan satu-satunya,
yaitu Indonesia,bukan
China! Sebagai pihak
yang sedikit mengamati
kemelut perdagangan
bebas
dengan alasan globalisasi
itu saya menilai tuduhan
bahwa Dr Mari
kurang antisipatif
sebenarnya unfair.
Kalau mau menyalahkan
soal kurang antisipasi,
seyogianya jangan
menyalahkan cuma
Menteri Perdagangan,
melainkan semua
pihak,mulai dari
Presiden sampai ke para
pengusaha (termasuk
saya) yang memang
semula
kurang peka risiko
marabahaya
kesepakatan CAFTAitu.
Seharusnya kita
semua jangan terlalu
menggantungkan diri
pada kepepetisme yang
apabila
terusmenerus
dipaksakan akan
menumpulkan daya
saktinya!
Sedahsyat- dahsyat
kepepetisme, tetap saja
antisipasi permasalahan
dengan persiapan yang
mantap dan matang jauh
lebih sakti mandraguna.
Apalagi dalam
menghadapi
maharaksaksa adikuasa
ekonomi kelas berat
seperti China yang kini
sudah menggeser posisi
Jerman menjadi negara
eksportir terbesar di
dunia.
Seharusnya sejak CAFTA
resmi ditandatangani
dahulu kala itu, langsung
segenap kerabat kerja
ekonomi negara dan
bangsa Indonesia
membenahi
diri demi mempersiapkan
segenap daya lahir batin
untuk mengantisipasi
1 Januari 2010. Namun,
mubazir, menyesali nasi
yang sudah menjadi
bubur.
Kini tiba saatnya dengan
bekal semangat Maju
Tak Gentar kita bersatu-
padu memadukan
segenap energi lahir
batin bangsa dan negara
Indonesia.
Bukan hanya
menyambut,melainkan
membentuk masa depan
yang lebih gilang-
gemilang! (*)
JAYA SUPRANA

Kamis, 04 Februari 2010

Rabu, 03 Februari 2010

Korupsi

Korupsi Demokrasi
Selasa, 2 Februari 2010 |
03:01 WIB
Pada mulanya adalah
biaya demokrasi yang
mahal. Politisi dan partai
politik dalam struktur
negara ”demokrasi
patrimonial” menjadikan
kekuasaan sebagai ajang
pungutan dan
pengurasan. Apalagi jika
mentalitas pemimpinnya
dihinggapi ”Cinderella
Complex” yang terobsesi
meniru fashion negara-
negara maju. Maka,
korupsi politik pun
merajalela.
Pemikiran konvensional
cenderung meyakini
bahwa satu-satunya jalan
menuju pencapaian
stabilitas demokrasi
adalah melalui pemilihan
langsung. Padahal, dalam
banyak kasus di negara
berkembang, pemilihan
(langsung) bisa
mengarah pada
peperangan dan
kemiskinan. Humphrey
Hawksley dalam
Democracy Kills
memperlihatkan potret
yang mengerikan
dari demokrasi elektoral
yang dijalankan secara
tidak tepat. ”Dari
Pakistan hingga
Zimbabwe, dari teritorial
Palestina hingga bekas
Yugoslavia, dari Georgia
hingga Haiti,
pelaksanaan pemilu
telah
melambungkan tingkat
korupsi dan kekerasan.”
Dengan demokrasi yang
salah urus terdapat
indikasi bahwa penduduk
di
bawah sistem demokrasi
elektoral lebih berisiko
tetap miskin atau
terbunuh ketimbang di
bawah sistem
kediktatoran.
Umpamanya, pendapatan
rata-rata di negara
otoritarian China adalah
dua kali lipat dari
negara demokrasi India;
harapan hidup dari
warga negara
demokratis
Haiti hanya mencapai 57
tahun dibandingkan
dengan mereka yang
hidup di
bawah kediktatoran
Kuba yang mencapai 77
tahun.
Dengan fenomena itu,
Presiden AS Barack
Obama dalam pidatonya
di
Universitas Kairo
memperlihatkan kehati-
hatiannya soal demokrasi
elektoral serta
empatinya terhadap
budaya lain. Ia
menekankan, tidak
ada sistem pemerintahan
yang dapat dipaksakan
oleh suatu bangsa
kepada
yang lain.
Tak lama berselang,
pemimpin konservatif
Inggris, David Cameron,
menyatakan, ”Demokrasi
semestinya merupakan
pekerjaan dari perajin
yang sabar, bukan
sebagai produksi massal
yang seragam, jika
produk
akhir yang dikehendaki
adalah kualitas yang
tahan lama.” Demokrasi
yang dijalankan secara
tidak hati-hati dan tidak
disesuaikan dengan
kondisi sosial-budaya
suatu bangsa bisa
menyebabkan kematian
banyak
orang serta gagal
memberikan martabat
dan pemerintahan yang
baik.
Perkembangan
demokrasi Indonesia
memperlihatkan belokan
menuju jalan
kesesatan. Pemilihan
legislator dan presiden
bisa dikatakan pemilu
terlama dan termahal di
muka bumi. Pelaksanaan
pilkada berlangsung
hampir setiap pekan
yang, karena mahalnya
pembiayaan, membuat
beberapa
kabupaten/kota
terancam defisit
anggaran.
Ketika uang menjadi
bahasa politik,
sementara mayoritas
rakyat hidup
dalam kemiskinan atau
dalam keserakahan
orang kaya baru,
keampuhan
demokrasi elektoral
lekas ambruk. Suara bisa
dibeli dan dimanipulasi.
Idealisme pemilih
dirobohkan, otoritas
Komisi Pemilihan Umum
dihancurkan. Ketika
nilai-nilai idealisme
kewargaan tidak
memiliki
saluran efektif, nilai-nilai
kepentingan investor
mendikte kebijakan
politik.
Sinergi antara
kepentingan investor dan
penguasa ”kejar
setoran” yang
menjadi pintu masuk
bagi korupsi politik pada
akhirnya harus dibayar
mahal oleh pelemahan
institusi penegak hukum.
Institusi ini bukan saja
mewarisi penyakit lama
sebagai mafia hukum,
tetapi dalam
perkembangan
terakhir dilemahkan oleh
otoritas politik untuk
menutupi korupsi
politik.
Pelemahan eksternal
mengemuka dalam
bentuk pertikaian
antarlembaga
penegak hukum;
pelemahan internal
merebak akibat konflik
antarkubu
pada lembaga masing-
masing. Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) tak
punya kepercayaan diri
lagi untuk menggarap
megakorupsi dengan
bobot
politik yang tinggi,
kepolisian mengalami
perpecahan internal, dan
kejaksaan menjadi
pesakitan karena jaksa-
jaksanya terjerat
makelar
kasus.
Melambungnya ongkos
kekuasaan dalam kondisi
kerapuhan institusi
demokrasi dan
nomokrasi (negara
hukum) juga
memudahkan penetrasi
kepentingan asing.
Dengan aparatur negara
yang mudah dibeli,
produk
perundang-undangan
disusupi, penunjukan
pejabat diintersepsi,
pilihan-
pilihan kebijakan yang
menyangkut
perekonomian dan
kekayaan alam pun
dipengaruhi. Akibatnya,
kedaulatan dan
ketahanan ekonomi
nasional
lumpuh. Benar kata
Machiavelli, salah satu
penyebab korupsi
merajalela
karena penguasa
diperbudak negeri lain
hingga negara tak
mampu membuat
aturan secara leluasa
untuk mengelola
urusannya sendiri.
Demokrasi elektoral
lewat jalan pintas gebyar
pencitraan, tanpa
komitmen pada prinsip-
prinsip efisiensi,
rasionalitas kebijakan
dalam
realitas sosial-budaya,
penegakan hukum dan
keadilan, ibarat
membangun
istana pasir. Kelihatan
indah penuh puja-puji,
tetapi mudah ambruk
diterjang gelombang
tekanan hidup.
Kasus yang menyita
perhatian publik dalam
100 hari Kabinet
Indonesia
Bersatu II menjadi
ukuran tentang suasana
kegawatan demokrasi
Indonesia. Krisis
kenegaraan membayang
dalam isu kriminalisasi
dan
pelemahan KPK,
megaskandal Bank
Century, tingginya angka
kemiskinan
dan pengangguran, serta
rendahnya daya saing di
tengah ancaman
perdagangan bebas. Di
sisi lain, otoritas negara
sibuk dengan program
pencitraan dan narsisme
elitis: mulai dari mobil
mewah dan kenaikan
gaji pejabat, pesawat
kepresidenan, pagar
istana, hingga
peluncuran
album.
Inilah masa ketika
demokrasi
dipertaruhkan.
Kegagalan
kepemimpinan
nasional untuk
memperbaiki kinerja
demokrasi dapat
mengarah pada
proses delegitimasi
demokrasi, termasuk
delegitimasi
kepemimpinan
nasional yang dipilih
melalui prosedur
demokrasi. Inilah ujian
sejarah, apakah kita
bergerak maju atau
surut ke belakang!
Yudi Latif Pemikir
Kenegaraan dan
Keagamaan
http://
cetak.kompas.com/